04- Despair

59 17 11
                                    

Oshe dan pria paruh baya itu tengah duduk di bangku yang berada di taman kecil yang tak jauh dari tempat pemakaman Sea. Sepertinya Oshe mulai nyaman berdekatan dengan pria paruh baya itu. Tidak peduli lagi siapa dia dan mengapa ia datang di kemari seolah tahu segalanya. Oshe lebih tenang sejak pria paruh baya itu berjanji akan menjelaskan tentang dirinya, nanti... setelah Oshe menceritakan kesedihannya dan tidak lagi meraung-raung tak jelas dengan keadaan yang amat menyedihkan.

"Walaupun aku mengetahui segalanya tentang dirimu, namun aku akan tetap menjadi pendengar yang baik tanpa menyela perkataanmu,"

Kalimat pria paruh baya itu membuat Oshe kembali mengerutkan keningnya dalam-dalam. Mengetahui segalanya tentangku? Oshe menggeleng tak kentara. Lupakan. Ia akan mencoba tidak peduli dengan semua pernyataan yang dilontarkan pria paruh baya itu. Saat ini ia hanya perlu melegakan sesak dada yang terasa penuh menyiksanya.

"Pertemuan pertamaku... dengan Sea. Sea, gadis yang sangat menarik perhatianku sekalipun ekspresinya yang selalu datar dan sifat yang sangat berkebalikan denganku. Gadis yang sangat unik," ucap Oshe dengan suara yang hanya terdengar seperti gumaman.

"Pertemuan pertama? Sepertinya waktu semalaman bahkan tidak cukup jika kau mulai dari pertemuan pertama. Hubungan kalian kan... sudah hampir enam tahun,"

Oshe menatap pria paruh baya itu lekat-lekat. Pria paruh baya itu berdeham. Tenggorokannya gatal sekali ingin berbicara lagi, namun terlihat menahan diri untuk menepati janjinya untuk tidak menyela perkataan Oshe.

🕓 🕓 🕓

Oshe mengerang hebat. Hatinya kembali terluka ketika mengingat Sea setelah menceritakan kisahnya dengan gadisnya itu kepada pria paruh baya di sampingnya. Sea... gadis yang sangat ia cintai, kali ini tidak akan kembali lagi untuknya.

"Aku masih bisa merasakan hangatnya dadaku ketika ia dalam dekapanku. Aku masih bisa merasakan itu," ujar Oshe di sela erangannya. Menepuk — nyaris memukul — dadanya sendiri berkali-kali, agar pria paruh baya, yang sekarang sudah sepakat untuk dipanggilnya paman, percaya bahwa saat ini hatinya amat terluka akibat rasa kehilangan.

"Sudah, jangan menangis lagi," Pria paruh baya itu — paman itu — menepuk-nepuk pundak Oshe, mencoba menenangkan.

Oshe menahan dirinya untuk tidak kembali mengerang, namun itu malah membuatnya makin sesak hingga erangan lebih kencang justru terlepas dari mulutnya.

Pria paruh baya itu semakin kesal. "Tolong hentikan eranganmu! Sepertinya kau berbakat menjadi penyanyi opera, sampai telingaku menjadi tuli!"

"Kau tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan, Paman!" bentak Oshe.

"Setiap orang pernah mengalaminya! Jangan sok tahu!" Paman itu mendorong kening Oshe dengan telunjuknya untuk menggambarkan kekesalannya. "Pulanglah!"

Oshe mengerjap. "Kau akan mengingkari janjimu?!" Oshe menepis air mata yang masih memenuhi matanya. Ia menatap paman itu dengan tatapan tidak terima.

"Aku sudah menepati janjiku, mendengarkan ceritamu sampai selesai tanpa menyela sekalipun! Aku sebenarnya sangat mengantuk ini! Dasar," tukas Paman itu.

"Kau berjanji akan mengatakan siapa dirimu sebenarnya setelah aku bercerita! Kau ini siapa? Bagaimana kau bisa tahu namaku? Bagaimana bisa tahu nama kekasihku? Bagaimana bisa tahu penyesalanku?" ujar Oshe dengan suara tinggi. Benar-benar seperti pemain opera.

Paman itu terus menghindar ketika Oshe mendesaknya untuk mengatakan semuanya. Bahkan paman itu mengatakan akan memberitahunya setelah Oshe beristirahat dan lebih tenang.

"Penipu," umpat Oshe dengan suara berbisik. Mengira paman itu tidak mendengarnya.

"Hey, aku tidak bermaksud menipumu! Lain kali aku akan cerita, janji!" Paman itu menaikkan nada bicaranya dengan wajah marah — tak terima ketika julukan penipu keluar dari mulut Oshe. Mungkin itu melukai harga dirinya.

"Kau ini sangat me — " Kalimat protes dari Oshe terhenti sebelum terselesaikan. Paman itu menghilang! Dia sudah pergi! Bagaimana ia bisa menghilang secepat itu tanpa sepengetahuan Oshe? Jangan-jangan ia memang hanya berhalusinasi? "Sepertinya aku sudah gila saat ini. Aku butuh ke psikiater. Aku harus ke psikiater besok," gumamnya. Oshe menarik tubuhnya untuk berdiri. Mencoba menguatkan langkahnya yang berkali-kali limbung.

🕓 🕓 🕓

Oshe menekan sandi pintu apartemennya. Suara deritan terdengar dan menampakkan daun pintu yang kini terbuka. Sunyi. Detak jam dinding bahkan terdengar lebih keras karena kesunyian ini. Sama sekali tak terpikirkan sebelumnya bahwa ia akan memasuki ruangan ini dengan perasaan hancur tak karuan. Ruang ini... adalah salah satu tempat yang menyimpan paling banyak kenangan bersama Sea. Ia takut. Takut bahwa ia tak akan bisa kembali beristirahat dengan nyaman lagi di tempat ini karena terbayang keberadaan Sea di berbagai sudut ruang apartemen minimalisnya itu.

Tak ada satupun lampu ruangan yang menyala. Kejadian hari ini sangat membuat tubuhnya tak berdaya, bahkan hanya sekadar menekan sakelar lampu saja rasanya tak mampu. Ini yang dimaksud sebagai perayaan oleh Sea? Perayaan kematian? Sungguh perayaan yang berhasil membuat jantungnya terasa teremas-remas dan nyeri tak berujung.

Oshe kini terduduk di atas sofa, di hadapan televisi yang tidak menyala. Matanya menoleh ke sofa di sampingnya. Telapak tangannya menelusur permukaan sofa perlahan. Sofa ini tempat favorit Sea ketika berkunjung, sambil menonton acara televisi kesukaannya. Mereka berdua menghabiskan waktu untuk menonton, mengobrol, menyantap makanan, bahkan tertidur pun di sini. Sofa ini... penuh kenangan bersamanya.

Oshe merasakan air matanya kembali lancang membasahi pipinya. Semua kenangan itu... terlalu menyakitkan. "Sea...," lirihnya dengan suara berat. Suara mengenaskan yang kini mengiringi suara detak jarum jam yang sejak tadi berbunyi tunggal. Saat ini muncul ketidakyakinan di dalam dirinya bahwa kesedihan itu tidak akan hilang dalam waktu yang cepat. Kesedihan yang tidak akan mudah berakhir.

Tubuhnya berangsur lemas tak berdaya. Ia menyandarkan tubuh ke sofa, menengadahkan wajahnya menatap langit-langit, matanya perlahan tertutup membendung air-air yang sejak tadi terus memaksa keluar. Kali ini ia membiarkan rasa sakitnya menggerogoti dada dan menghabisi tubuhnya secara perlahan. Membiarkan rasa sakit ini mengantarkannya ke dalam alam bawah sadar dan membuatnya tergulung oleh mimpi.

🕓 🕓 🕓

Februari 17, 2021

"Sea!" Oshe membuka matanya, terbangun dengan napas terengah dan keningnya dibasahi oleh keringat. Ia mendapati layar komputer di hadapannya sudah redup. Seperti belum puas menyiksa dirinya, setiap kali matanya terpejam selalu terbayang wajah gadisnya itu.

Ia merasakan napasnya masih terengah, pundaknya mulai terasa pegal. Sepertinya ia tertidur cukup lama dengan posisi menelungkup di meja kerjanya. Sudah satu minggu berlalu sejak kepergian Sea. Dan selama itu pun Oshe tak pernah izin bekerja. Kenapa? Karena jika ia berdiam diri, sendirian di apartemennya, ia akan terus merasa tersiksa.

"Kau bermimpi buruk lagi?" Suara itu terdengar menghampiri Oshe. Rheo, pria itu mengambil kursi dan duduk di sebelah Oshe. Perhatian Rheo terus mengarah pada keringat yang deras berkucuran di kening Oshe.

"Aku sangat merindukannya," desis Oshe.

"Kau bisa tidak berangkat kerja dulu, ambillah jatah cutimu," Percayalah, siapapun yang melihat keadaan Oshe saat ini pasti akan khawatir. Wajahnya kusut dengan lingkaran hitam di kedua kelopak matanya, rambut berantakan, dan tubuh yang semakin kurus.

"Jika bisa, aku lebih ingin menghabiskan waktuku di tempat ini. Kau tidak tahu betapa tersiksanya aku berada di apartemen, mengingat semua kenangan bersama Sea hampir membuatku gila," ucap Oshe yang terlihat frustasi. "Aku tidak bisa tertidur ketika malam tiba, karena setiap mataku terpejam bayangan Sea selalu muncul,"

"Ayo, ke rumahku saja," tawar Rheo. Oshe menggeleng. "Aku akan ke makam Sea, aku saat ini sangat, sangat, sangat merindukannya..."

🕓 🕓 🕓

Turn Back CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang