03- Lose

76 19 15
                                    

Sea Valerie, 29 Januari 1996 - 10 Februari 2021, tulisan itu tertulis dalam — kelewat dalam — pada pusara. Sekadar ukiran, namun mampu membuat tubuh lelaki di hadapan pusara itu mengerang hebat karena melihatnya. Kelopak-kelopak bunga yang masih segar masih mewarnai tanah basah itu. Foto gadis dengan senyum simpul dan beberapa buket bunga masih tersusun rapi mengelilingi pusara. Pusara dengan ukiran nama Sea Valerie itu belum berhenti digenggamnya. Mencoba menyadarkan diri bahwa keadaan yang ia hadapi saat ini benar adanya.

Berapa lama ia berdiam diri di sana? Mungkin... selama dua jam, hingga para pengantar beserta keluarga Sea beranjak pergi. Berkali-kali Rheo — sahabatnya — membujuk untuk segera pulang meninggalkan tempat itu, namun Oshe mungkin hanya menganggap suara Rheo hanyalah desahan angin yang hanya perlu diabaikan. Ia bertahan dengan keyakinannya bisa berjumpa dengan gadis miliknya itu.

Kini Oshe sendiri. Tidak, berdua. Berdua dengan Sea yang tertidur dengan tenang di hadapannya. Ia tak menghiraukan pakaian hitamnya yang kini ternodai tanah kecokelatan. Berkali-kali ia meremas kelopak-kelopak bunga di hadapannya yang membuat tubuhnya bergetar dengan hebat.

Tuhan... aku harap ini hanya mimpi...

Sejenak ia mencoba menenangkan diri, menahan segala erangan. Helaan napasnya berselingan dengan embusan napas sesak.

"Apakah kau begitu marah padaku, hingga memutuskan tak ingin bertemu denganku lagi?" Lagi-lagi ia berbicara pada batu pusara di hadapannya, seolah-olah sedang bercakap-cakap secara langsung dengan Sea.

Tiga jam terlampaui dengan lambatnya. Seolah kini detik waktu sedang menertawakan dan mengujinya. Tiga jam terasa sangat panjang ketika ia menyadari Sea tak ada lagi di dunia ini. Lantas, bisakah ia kembali menjalani hidupnya, menjalani detik, menit, jam, tanpa gadis itu di sisinya?

Ia menggunakan sisa kekuatan yang dimiliki untuk membantu tubuhnya bangkit. Dengan keadaan menyedihkan, ia menyeret langkahnya menjauh dari tempat itu. Tanpa Sea, tentunya. Kakinya terasa terasa berat dan hampir putus asa untuk terus menapakkan kaki hingga mencapai tempat mobilnya terparkir.

Langkahnya terayun keluar dari gerbang pemakaman. Tubuhnya lunglai. Gerakannya tak seimbang dan sesekali hampir limbung. Tatapan matanya... seolah mati, tidak hidup lagi semenjak pagi tadi Sea meninggalkannya, selama-lamanya. Kini hanya tersisa memori yang telah mereka buat selama enam tahun bersama.

Jangan malas membersihkan tasmu!

Oshe, berapa kali aku bilang, kerjakan tugasmu di awal waktu!

Kenapa kau selalu lupa sarapan? Kau ingin terkena penyakit asam lambung?

Jangan tinggalkan laptopmu di sembarangan tempat!

"Sea-ku...," desisnya serak. Ia merasa tak sanggup menginjakkan pedal gas dan menggerakkan kemudi. Semua terasa berat, terlalu berat. Tatapan Oshe perlahan kabur. Genangan air membuat matanya berat untuk terbuka.

Yaampun! Apa tidak ada pewangi di mobilmu?

Oshe! berkali-kali aku bilang, jangan mengebut!

Ini sudah jadwal servis mobilmu, kau pasti lupa lagi ya...

Oshe mengerang bersamaan dengan tangis yang kian tumpah. Suara itu, suara yang hampir ia dengar setiap hari selama enam tahun. Suara yang biasanya hanya ia anggap sebagai racauan yang tidak berarti apa-apa. Suara gadis cerewet yang kadang membuatnya kesal karena sedang tidak dalam mood yang baik untuk diomeli. Cukup! Berhenti memutar suara itu lagi di telinganya! Itu membuatnya terlihat semakin menyedihkan.

Andai saja kala itu... andai saja ia... andai saja... kata 'andai' itulah yang paling sering muncul di kepalanya. Banyak 'andai' yang muncul di kepalanya.

"Aku rela memberikan separuh waktu dalam hidupku untuknya, Tuhan, agar aku dapat bersamanya lebih lama dan menghapus semua kesalahanku — tidak! Aku bahkan rela memberikan seluruh waktu yang aku miliki untuknya," Oshe meremas dadanya dengan kasar, memukulnya berkali-kali. Ia ingin mengganti rasa sakit di dalam dadanya karena kehilangan Sea dengan dengan rasa sakit akibat pukulannya sendiri. Sulit... ini sangat sulit untuknya.

Erangannya semakin terdengar mengenaskan. Tidak peduli, tidak akan ada yang mendengarnya. Tidak akan ada yang menyaksikan keadaannya saat ini. Tidak akan ada yang...

"Kau menyesal? Setelah menyia-nyiakannya dan sekarang kehilangannya, kau bisa menyesal dan menangis? Menyedihkan,"

Oshe mendengar suara itu. Dengan setengah kesadaran dan buram matanya, ia mengarahkan wajahnya ke luar kaca mobil. Ia pikir ini hanya halusinasi yang menggoda telinganya. Siapa yang tadi berbicara?

"Kau menangis, Oshe?" pertanyaan itu samar terdengar. "Menyedihkan sekali kau ini," suara itu kembali terdengar, seperti mengejeknya.

Oshe memutuskan untuk turun dari mobilnya. Kepalanya mengarah ke arah kanan, mengikuti arah tangkapan suara dari telinganya. Tanpa waktu yang lama, matanya berhasil menangkap sosok yang sejak tadi berbicara padanya. "Kau siapa? Kenapa tahu namaku?" tanya Oshe dengan kondisi yang terlihat linglung.

"Lucu sekali! Orang seperti dirimu menangis," Pria paruh baya itu berkata seraya melayangkan senyum asimetris. Pria paruh baya, dengan setelan serba putih yang melekat di tubuhnya dengan rapi, kini menatap Oshe dengan tatapan mengejek. Kali ini pria itu tertawa dengan kerasnya, membuat Oshe merasa pria paruh baya itu menyebalkan.

Tangan sebelah Oshe mengepal, bibirnya menipis kesal. Ia berjalan mendekati pria paruh baya itu. "Tenanglah, aku hanya ingin berbicara padamu!" kata pria itu. Suaranya terdengar tegas, namun kemudian diikuti oleh kekehan.

Siapa sebenarnya pria ini? Apa dia bukan manusia?

"Tak perlu pedulikan siapa aku," Pria paruh baya itu mengibaskan tangannya ringan. "Yang harus kau pedulikan adalah kenapa sekarang aku berada di sini untukmu,"

"Tunggu, apa... apakah kau hantu? Aku ingat tadi tak ada siapapun disini," Raut wajah kesedihan Oshe kini tergantikan oleh raut ketakutan. Kakinya susah payah bergerak mundur.

Pria paruh baya itu tergelak. "Dasar bodoh! Kau memang tidak pantas berada di sisi Sea. Mungkin memang lebih baik dia mati daripada bersanding dengan—"

"Jaga bicaramu! Siapa kau sebenarnya?!" Oshe kini berusaha mengeluarkan suaranya agar terdengar membentak. Wajahnya memerah karena marah akan perkataan pria paruh baya di hadapannya itu. Bagaimana pria paruh baya itu bisa tahu namanya, bahkan nama kekasihnya? Mengapa ia tahu banyak hal? Apa gunanya pria paruh baya itu datang kemari? Pertanyaan-pertanyaan terus berjejal di dalam kepalanya. Kesedihan, penasaran, dan ketakutan beradu dalam tubuhnya.

"Anggap saja saat ini aku temanmu. Kau bisa ceritakan semua perasaanmu. Jangan mempermalukan diri dengan meraung-raung seperti tadi,"

Tubuh Oshe lemas. Ia menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Pria paruh baya itu benar, tidak peduli siapa dia, maksud kedatangannya, dan bagaimana ia bisa tahu semuanya. Ia hanya harus mengeluarkan semua perasaan dan kesedihannya kepada seseorang yang bersedia mendengarkannya. Pria paruh baya itu... tidak terlalu buruk untuk dijadikan teman bicara.

"Lekas berdiri, ikut aku! Kita cari tempat yang lebih nyaman untuk mengeluarkan semua kesedihanmu, sebelum kau tampak lebih menyedihkan,"

Oshe seakan terhipnotis, tubuhnya bangkit dengan patuh mengikuti pria paruh baya itu. Tidak peduli kemana mereka akan kemana. Bahkan jika dugaan bahwa pria paruh baya itu benar hantu, maka dengan senang hati ia menyerahkan diri untuk dibawa ke akhirat bersamanya.

Apakah itu bisa membuatku kembali bertemu dengan Sea, Tuhan?

Pertanyaan bodoh.

🕓 🕓 🕓

Turn Back CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang