1.

172 27 25
                                    

Cuaca mendung di sore hari pada bulan Juni, dengan gerimis yang sedikit turun dan mampu membahasahi siapa saja yang melewatinya, termasuk seorang gadis yang kini berjalan menyusuri jalanan yang masih terlihat cukup padat kendaraan. Mayra Aulia—nama gadis itu yang matanya kini sudah sembab sedari tadi, air mata yang membasahi pipinya bercampur dengan air hujan yang semakin lama semakin deras. Gadis muda itu tidak berniat untuk meneduh atau pun berhenti, perasaan gadis itu terus menyuruhnya untuk terus melangkah tanpa harus berhenti. Rasa sakit hati Mayra lebih mendominasi ketimbang badannya yang saat ini sudah menggigil.

Drttt drttt.....

Ponsel Mayra bergetar panjang, menandakan sebuah panggilan masuk. Mayra tidak peduli, ia rasanya malas walau hanya untuk melihat siapa yang menelfon. Pikirannya menebak pasti si bajingan itu yang menelfon. Lebih dari sekali panggilan masuk, langkahnya pun mulai terhenti dan memilih untuk mengangkat ponsel itu, mengecek siapa yang menelfon hingga sampai lebih dari lima kali berturut-turut.

"Om Irul?" Dahinya mengernyit melihat nama yang tertengger di ponselnya.

"Halo om." Mayra menjawab telfon itu.

"Halo Ra, sekarang kamu kerumah sakit Ra. Om dan Tante nemuin papa kamu terjatuh di ruang tamu."

Deg....

Jantung Mayra seakan ingin berhenti saat ini juga mendengar ucapan pamannya di seberang sana, matanya tambah menumpahkan air mata. Sekarang hujan tak lagi terasa di tubuh gadis muda itu. Tampa sadar, ia mulai berlari sekuat dan sekencang yang dirinya bisa, tujuannya sekarang adalah segera sampai ke rumah sakit dan melihat keadaan papanya. Ia berharap kepada Tuhan semoga papa tetap baik-baik saja, Mayra ingin memeluk papa saat ini juga rasanya. Karena saat ini yang ia punya hanyalah papa, satu-satunya orang yang setia berada di sampingnya.

***

Mayra duduk meringkuk dibawah pintu ruang operasi, saat ini papa masih di tangani dokter, karena kondisi papa yang memburuk dan mengharuskannya untuk segera di operasi yang sudah hampir dua jam lebih. Badan Mayra sudah menggigil dan ia sama sekali tidak peduli jika harus sakit setelah ini. Sesekali ia melihat kuku jarinya yang memutih, wajahnya seperti terasa bengkak karena tidak berhenti menangis. Ia hanya ingin papa, dengan perasaan yang was-was ia sangat berharap operasi papa berjalan dengan lancar.

"Mayra." Irul memegang pundak keponakannya.

Dengan tatapan sayu Mayra menatap Irul, dari matanya saja sudah terlihat bahwa ia tidak tidak baik-baik saja. Sudah pasti Irul juga merasa terpukul karena kondisi papa yang tiba-tiba memburuk dan malah ditemukan pingsan diruang tamu. Wajar saja Irul Abang dari papa Mayra.

Dengan perasaan yang bercampur aduk, mayra terus berdoa semoga keadaan papa baik-baik saja, ia terlalu takut berpikir hal yang lain-lain. Lebih parahnya, ia takut bagaimana nanti papa pergi meninggalkannya seperti yang lain. Bibir yang bergetar terus mengucapkan kata-kata baik sekiranya Tuhan mau mendengar keluh kesahnya, dan memberikan keajaiban untuk kesembuhan papa, kali ini biarkan ia egois ingin mempertahankan seseorang.

"Sebaiknya kamu pulang ya, Om antar kamu pulang. Badan kamu sudah dingin May. Om takut kamu sakit."

Lagi-lagi mayra hanya menggeleng pelan, ini sudah keempat kalinya Irul menyuruh keponakannya itu untuk pulang, tapi jawaban yang sama juga lagi-lagi lelaki paruh baya itu dapatkan. Gadis itu masih ingin menunggu papanya, ia ingin papa ikut pulang bersama nya.

Tidak berapa lama, pintu ruang operasi terbuka dan menampakkan seorang dokter keluar.

"Keluarga pasien?" tanya dokter kepada Irul.

"Ah iya dok, saya abang dari pasien. Bagaimana operasi adik saya dok?" tanya Irul harap-harap cemas.

Dokter itu hanya tersenyum simpul dan seperti ingin menyampaikan sesuatu. "Maaf. Operasi tidak berjalan dengan lancar."

Deg....

Mayra langsung berdiri dan memegang lengan sang dokter. "M-maksudnya dok? Papa saya?" gadis itu tidak kuat melanjutkan ucapannya. Lidahnya mendadak kelu.

"Pasien tidak dapat terselamatkan. Karena penyakit jantung yang dideritanya sudah sangat parah." Final nya.

Mayra langsung terjatuh dengan posisi duduk. Seketika badannya lemah, air matanya seperti ingin membanjiri rumah sakit ini. Dadanya sangat sakit, bahkan lebih sakit lagi dari apa yang ia dapat sebelumnya. Gadis hanya punya papa didunia ini, dan sekarang? Papa juga pergi meninggalkannya. Dalam keadaan seperti ini, mendadak pikiran konyol melintas di dalam benak gadis itu apa papa sudah tidak menyayanginya? Apa papa sudah sangat merindukan mama? ia tak sanggup lagi. Terlalu banyak pertanyaan yang melingkar di pikirannya hingga tanpa sadar, Mayra sudah terjatuh pingsan.

***

Saat ini, Mayra hanya diam berada di mobil Irul. Kemaren papa sudah di kebumikan, Irul dan Nira--istrinya selalu menemaninya dengan terus memberikan semangat. Tapi ia sudah tidak tau lagi semangat apa yang dirinya punya, sekarang ia sudah sendiri. Dirinya tidak punya orang tua. Irul mengajak Mayra pindah ke Jakarta untuk tinggal bersama nya karena dia takut keponakannya kenapa-kenapa jika di tinggal sendiri. Mayra hanya bisa mengangguk karena ia juga sadar tidak mungkin bisa hidup sendiri di umurnya yang baru tujuh belas tahun.

Nira selalu berusaha mengajak Mayra mengobrol. Tapi entah kenapa gadis itu tidak ingin bicara kepada siapa pun, ia hanya ingin diam dan menikmati pemandangan yang sudah dilewati mobil Irul. Rasanya egois memang ketika Mayra rasakan  seperti ini, Irul juga keluarga papa, dia abangnya papa sudah jelas Irul sangat terpukul sama seperti yang Mayra rasakan saat ini, tetapi ia selalu berpikir bahwa ia lah yang paling sakit dan menyedihkan di sini.

Mobil Irul berhenti karena lampu merah. Tanpa sadar, kedua obsidian Mayra tertuju kearah lelaki yang duduk di atas motornya dan memberikan uang kepada anak kecil yang kelihatan seperti pengemis jalanan. Lelaki itu tersenyum tulus melihat anak kecil itu menerima uang darinya. "Manis" kata itulah yang bisa terucap dari bibirnya setelah sedari tadi ia diam.

"Iya Mayra, ngomong apa?" Nira memegang lengan Mayra.

Mayra melihat Nira--tantenya lau setelahnya menggeleng pelan, dan kembali mengarahkan kepalanya menatap jendela mobil, tetapi ternyata lampu sudah hijau dan lelaki itu sudah menancapkan gas nya menjauhi mobil Irul.

"Hanya pertemuan singkat." Ya itulah yang terucap dalam hati Mayra. Ia tidak mau berpikir terlalu jauh lagi, toh itu memang hanya pertemuan singkat.

***

Rania berhambur memeluk Mayra--sepupunya ketika baru saja mereka sampai di rumahnya. Rania anak dari Irul, Anak satu-satunya. Rania juga seumuran dengan Mayra dan bisa dipastikan gadis itu akan pindah sekolah di sekolahnya Rania.

"Eummmmm Mayraaa, sabar yaa cantikk." Rania menepuk-nepuk pundak sepupunya ketika ia memeluk gadis itu. Dia sudah menangis bahkan ketika Mayras baru aja sampai.

Mayra melerai pelukan keduanya. "Makasih ya." Ia hanya bisa tersenyum simpul. Karena pada kenyataannya ia tidak bisa sabar dan jujur, ia belum bisa ikhlas kehilangan papa. Sudah cukup rasanya hatinya sakit kehilangan mama, bahkan ia juga belum pernah bertemu mama sedari ia dilahirkan.

"Ra, ajak Mayra ke kamarnya ya. Biar Mayra bisa langsung istirahat."

Rania mengangguk menanggapi suruhan mamanya. "Yuk May." Setelahnya menarik tangan Mayra pelan. Tidak lupa gadis baik hati ini juga membawakan tasnya.

Kamar nya cukup luas. Itulah pikir Mayra ketika baru saja sampai. Kamar dengan nuansa biru muda, warna kesukaannya sehingga ia tidak akan bosan berada di kamar. Dan yang tambah membuatnya sedikit senang, karena kamarnya juga terdapat balkon persis seperti kamar yang ia tempati dirumah bersama papa. Ah, ini akan menambah rasa rindunya kepada papa.

"May, lo istirahat dulu ya. Ntar kalo energi lo udah pulih gue bantuin buat ngemas barang-barang lo."

Mayra tersenyum yang bisa terbilang cukup hangat. Rania benar-benar baik, padahal bisa dikatakan keduanya tidak terlalu akrab meskipun mereka sepupuan. Karena jujur, Mayra orang nya kurang pandai bergaul dan sedikit menjaga jarak.

Jejaknya gaesss🥰😍

Behind Bound Cracks : Traces of The Past || Na Jaemin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang