22.

22 9 0
                                    



Pagi dengan udara yang cukup dingin dan bahkan suhunya yang rendah mampu menusuk hingga ke tulang-tulang. Mayra yang menyusuri koridor sampai harus mengeratkan Hoodie yang tak mampu menahan sejuknya pagi ini. Hujan tadi malam benar-benar lebat sehingga udara pagi juga masih terasa dingin dan sembab, bahkan aroma petrikor masih menguar dengan kuat di indra penciuman Mayra.

Memandang keadaan kelas yang benar-benar kosong, gadis itu melangkah pelan menuju bangkunya. Hampir lima menit lamanya menatap bangku itu, Mayra seperti tidak ada niatan untuk segera duduk alih-alih mengusap pelan meja belajarnya. Senyum tipisnya terukir.

Pertama kali ia pindah di sekolah ini, dia langsung duduk di samping Narel, lelaki yang tidak sengaja ia temui di lampu merah saat dirinya pindah ke Jakarta. Takdir memang tidak bisa di tebak, sekarang lelaki itu berada di sekitarnya, bahkan duduk di sampingnya. Mayra terkadang berpikir skenario seperti apa yang Tuhan siapkan untuknya, sehingga di saat kerapuhan menghampirinya Tuhan mempertemukan dirinya dengan Narel. Dan sekarang, takdir lagi-lagi membuktikan, bahwa bertumpu pada satu orang untuk tetap bertahan itu salah. Nyatanya, sekarang luka di hati Mayra bertambah koyak, dan di tambah oleh luka baru. Seakan-akan kebahagiaan tidak berhak ada di dalam hidupnya, Mayra seakan merasa ia harus hidup sengsara dengan luka dan tangis di setiap harinya. Bagaimana bisa skenario seperti ini Tuhan pilih untuknya yang merupakan seorang gadis lemah. Setelah ini, kepada siapa lagi Mayra akan mengadu?

"Eh May. Lo udah dateng? Keadaan lo gimana?" Mina datang menghampiri Mayra yang masih berdiri, sembari merangkul pelan pergelangan tangan Mayra.

Mayra membalas senyum manis Mina. "Gue nggak apa-apa kok Mina."

"Gue kaget banget, pas tau lo sama Rania kecelakaan kemaren."

"Gue nggak apa-apa. Tapi Rania ...."

"Udah, lo gak usah merasa bersalah. Semua murni kecelakaan. Lo, juga kan ga sengaja May."

Mayra mengangguk pelan. "Oh iya Min. Gue, boleh gak duduk sama lo?"

Mina diam beberapa detik mendengar ucapan Mayra. Gadis itu tidak kepikiran apa-apa, hanya merasa aneh kenapa Mayra mendadak ingin pindah duduk bersamanya.

"Gak boleh!" Gea datang menarik pergelangan tangan Mina agar menjauh dari Mayra.

"Ge. Lo apa-apaan sih?!"

"Lo, yang apa-apaan Min. Udah tau sahabat lo lagi sekarat di rumah sakit karena ni cewek, lo masih aja mau di tempelin sama dia. Apa jangan-jangan lo udah gak peduli sama Rania hanya karena orang baru ini?!" Gea menunjuk Mayra dengan emosinya yang meluap.

Menghela nafas pelan, Mina memegang pundak Gea. "Semua murni kecelakaan Ge. Gue peduli banget sama Rania. Tapi, kita gak boleh juga menghakimi Mayra kayak gini."

Mendengar penuturan Mina. Gea menepis pergelangan tangan Mina yang masih ia pegang. "Gue kecewa sama lo." Setelah mengatakan itu, Gea pergi keluar dari kelas.

Melihat kejadian itu membuat hati Mayra mencelos. Lagi-lagi karenanya persahabatan mereka rusak. Ternyata benar, dirinya pembawa sial. Tidak akan ada yang bisa menerimanya lagi.

"Mina nggak apa-apa. Gea pasti masih kesel banget sama aku. Maaf ya Min, gara-gara gue lo jadi berantem sama Gea."

"No. Lo, gak boleh nyalahin diri lo sendiri oke. Lagian gue juga heran, kenapa akhir-akhir ini Gea sama Rania lebih beda dari biasanya.

Mayra menyuruh untuk Mina mengejar Gea. Walau bagaimanapun Gea adalah sahabatnya, meskipun Gea salah paham, Mina harus segera meluruskannya agar salah paham itu tidak merambat.

Behind Bound Cracks : Traces of The Past || Na Jaemin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang