11.

22 6 0
                                    

Narel mengacak rambutnya frustasi. Memori nya terulang pada adegan dimana dia dengan sok manisnya menggenggam jemari gadis yang sangat ingin ia benci. Beberapa kali lelaki itu memukul kepalanya merasa bodoh karena sudah memperlakukan Mayra seperti tadi, bagaimana jika gadis itu berpikir yang aneh-aneh tentang nya. Ah, membayangkannya saja membuat darah Narel mendadak naik. Lelaki itu benar-benar menyesali perbuatannya tadi.

"Ahhh. Bodoh banget sih lo Rel. Gimana kalo tu cewek baper." Narel memukul beberapa kali meja belajarnya.

Tok tok tok ....

"Rel, gue masuk ya." Itu suara Jezo.

"Yoii." Setelah mengatakan itu, Narel duduk di kursi belajarnya. Berusaha menenangkan dirinya sendiri dari pada Jezo curiga dengan apa yang terjadi pada dirinya.

Jezo mendaratkan bokongnya di kasur empuk milik Narel. Sebelum membuka percakapannya, Jezo melihat kondisi sahabatnya terlebih dahulu apakah dalam mood baik atau tidak. Bisa bahaya jika Jezo bercerita tetapi mood Narel dalam keadaan buruk. Karena Narel tipe lelaki yang enggan menanggapi apa pun jika moodnya sedang anjlok. Jadi percuma saja kan Jezo cerita kalau yang di ajak ngobrol tidak menanggapinya sama sekali.

"Kenapa sih njing!" Narel sedikit emosi melihat Jezo yang hanya menatapnya beberapa menit membuat bulu kuduk nya mendadak berdiri.

"Santai bangsat! gue mau liat kondisi mood lo dulu."

"Anjir tu mulut kayak gak pernah di sekolahin ya." Narel mendekatkan dirinya dengan Jezo. Lalu tanpa aba-aba menokok pelan kepala saudaranya itu.

"Sakit woyy. Lagian kan lo duluan yang ngomong kasar bangke."

Narel hanya melengos mendengar penuturan Jezo. Padahal lelaki ini masih kesal dengan dirinya sendiri, di tambah kehadiran Jezo yang mangkin membuat moodnya runtuh.

Jezo menghela nafas pelan. "Gue dapet info, kalo Haedo ada di Jakarta."

Narel refleks langsung menatap lekat mata saudaranya itu. "Ya terus?"

Melihat reaksi Narel yang di buat-buat biasa saja membuat hati kecil Jezo sedikit tertawa. Bagaimana bisa ada manusia yang memiliki gengsi yang sangat tinggi seperti sahabatnya yang satu ini. Jezo yakin seratus persen, kalau Narel hanya pura-pura tidak peduli dengan kehadiran Haedo karena jelas terlihat dari mata pemuda berbulu mata lentik itu bahwa dirinya sangat kaget mendengar kedatangan Haedo di Jakarta.

"Gue pengen banget ketemu sama dia Rel." Jeszo mengeluarkan eyes smile-nya yang di mana membuat Narel mengerutkan dahinya.

Bukannya apa-apa. Narel sangat tau kalau pemuda yang kini duduk di hadapannya sangat anti bersikap sok imut begitu karena baginya akan merusak citra kerennya yang sudah susah payah ia bangun. Jezo itu tipe cowok yang gak suka sok imut, tapi dia paling suka lihat sesuatu yang imut-imut. Kadang juga kalau ada kesempatan dan mood Narel benar-benar baik, Narel adalah orang yang paling sering bertingkah imut di depan Jezo.

Meskipun di kenal memiliki wajah yang yang terkesan cuek dan tidak peduli, nyatanya Narel kalau di rumah memiliki sifat yang berbanding terbalik jika di luar rumah. Narel itu sangat hangat kalau berada dalam lingkup keluarga.

"Sampai kapan sih Rel, lo musuhan sama Haedo. Serius dah, gue rindu makan ayam geprek sama kalian berdua. Gue rindu liat lo berebut ceker sama Haedo. Bahkan gue juga rindu kita nongki gibahin keluarga kita sendiri."

"Zo. Sumpah yah. Gue lagi males bahas ini semua. Kalo lo rindu Haedo ya, samperin aja kali, gue gak masalah." Final nya.

Narel duduk di kursi belajar nya dan menghadap meja belajar dengan segera membuka buku. Pikirannya benar-benar berkecamuk sekarang, memikirkan apa yang di katakan Jezo. Hey, siapa yang tidak rindu dengan kenangan-kenangan indah dan manis itu, bahkan kalau di kasi kesempatan Narel sangat ingin mengulang persahabatannya dengan Haedo tapi baginya nasi sudah menjadi bubur, dan apa yang di lakukan Haedo di masa lalu benar-benar membuat lukanya menjadi menganga lebar.

Jezo keluar dari kamar Narel dengan wajahnya yang sedikit di tekuk. Susah sekali merayu Narel untuk ikut bersamanya menemui Haedo. Padahal ini adalah kesempatan emas untuk bisa memperbaiki persahabatannya yang telah retak, ah bukan retak lagi tapi patah karena sudah lama sekali mereka tidak saling sapa, dan Haedo pun dengan sangat tiba-tiba lost kontak dengan Jezo.

"Lho, muka kamu kenapa di tekuk gitu nak?" Tanya Yuri bundanya Narel yang kini merangkap menjadi ibu tirinya Jezo.

"Itu Bun, Narel susah banget di ajak buat ketemu Haedo." Jezo memanyunkan bibirnya.

Yuri terkekeh gemas lalu mencubit pelan pipi Jezo. "Ya. kamu tau sendiri nak, kalau Narel itu anaknya teguh banget sama pendiriannya. Kamu terus aja buat bujuk dia ya, mana tau lama-lama dia bakalan luluh."

"Iya Bun." Jezo mengangkat kepalanya menatap sang bunda yang penuh dengan kasih sayang. "Oh iya bunda, katanya papa kita mau ngadain acara kecil-kecilan ya, buat memperingati hari pembukaan perusahaan baru yang papa rintis?"

Yuri mengangguk pelan. "Iya Zo. Kamu undang temen-temen kamu ya. Soalnya bunda mau buat tumpeng. Kata papa kamu, kamu suka nasi kuning kan? Nah Narel juga suka nasi kuning jadi bunda mau buat tumpeng," jelasnya.

Mata Jezo berbinar mendengar nasi kuning. "Wahh serius Bun? Iya Bun. Jezo sama Narel emang suka nasi kuning apa lagi kalo udah di gabung sama kuah rendang beuhhhh rasanya maknyus."

Yuri tertawa pelan. Tidak pernah di sangka anak tirinya begitu sangat menyayanginya. Bahkan Yuri juga menyayangi Jezo layaknya seperti anak kandung. Awal pertemuannya dengan papa Jezo juga karena anaknya berteman dekat dengan Jezo. Dan sangat tidak di sangka ketika keduanya memutuskan ingin menikah, Jezo dan Narel sangat mendukung bahkan mereka sampai menangis terharu bahagia mendengar kabar baik yang di bawa oleh bunda dan papa nya.

Sebenarnya ayah Narel masih hidup, hanya saja Yuri dan ayah Narel sudah lama bercerai ketika Narel masih duduk di bangku kelas lima SD. Di saat anak-anak seusianya waktu itu menikmati kebahagiaan bersama kedua orang tuanya, tapi Narel menerima ketidaknyamanan dengan pertengkaran yang terjadi antara ayah dan bundanya. Narel sangat menyayangi bundanya, maka dari itu hak asuh jatuh sepenuhnya terhadap bundanya. Sekarang kedua orang tua kandung Narel sudah mendapatkan kebahagiaan masing-masing dengan keluarga baru.

Narel, pemuda itu tidak menyesal sama sekali mendengar perceraian kedua orang tuanya. Baginya itu lah yang terbaik, dari pada dia terus melihat bunda nya yang menangis itu benar-benar melukai perasaan Narel. Narel sendiri berjanji pada dirinya, siapa pun yang menyakiti bunda nya dia tidak akan segan-segan membalas berbuatan orang itu bahkan lebih menyakitkan.

Behind Bound Cracks : Traces of The Past || Na Jaemin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang