B20

78 33 3
                                    

Tidak lama setelah aku menghabiskan isi teko, yang hampir meminum empat cangkir teh melati sendiri. Kebiasaan setiap pagi, selalu menyempatkan minum teh. Ijah datang dengan tangannya menentang tas anyam belanja. Tasnya yang terlihat penuh berisi berbagai macam bahan mentah makanan saat dikeluarkannya.

"Akan memasak apa hari ini?"

"Saya akan membuat slachtje hari ini." ujarnya sembari menumpuk buah timun, seledri, kentang serta masih banyak lagi.

"Apa itu? Aku tidak pernah mendengarnya?"

"Kalau koki nyonya di kediaman batavia, menyebutnya bieftuk." jelas Ijah sembari mengeluarkan daging yang masih merah dari bungkusnya lalu meletakkannya ke wadah untuk dicuci.

"Saya terpikir membuatnya setelah mendengar bahwa tuan muda Ryker menyukai makanan daging - dagingan setengah matang itu sejak pindah ke Batavia."

"Dia pernah mengatakan merindukan biefstuk dari koki Prancis di salah satu restoran Batavia. Tapi memang kalau diingat, bukankah dia dari dulu memang tidak bisa makan tanpa lauk hewani, hanya saja tidak daging yang belum matang."

"Oleh karena saya juga ingat miss tidak suka makanan yang setengah matang. Jadi saya mencari sampai menemukan resep masakan ini."

Walau aku tidak pernah merasakan makanan bernama biefstuk ini, tetapi kalau membayangkan memakan daging yang dalamnya masih merah dan rasanya yang bercampur rasa logam.

"Benar, aku tidak akan bisa memakan itu. Jadi ini jenis biefstuk dengan daging yang sudah matang?" tanyaku mendekat pada Ijah yang sibuk mencuci bahan mentah dan sayuran di wastafel.

"Iya, semoga kalian akan menyukai makanan yang baru pertama kali saya buat ini." harap Ijah

"Kami tidak perlu khawatir, masakan mu tidak pernah tidak enak." ujar ku

Ijah melanjutkan kegiatannya kembali setelah menyalakan lagu Melayu kesukaannya dari siaran radio lalu bergoyang sembari bersenandung ria. Aku yang tidak ingin menganggu nya segera pergi dari dari dapur, dan memang benar - benar sudah diabaikan Ijah yang fokus kegiatan memasaknya itu.

Aku kembali ke kamar untuk menyelesaikan barang kiriman. Setiap minggu aku masih secara rutin mendistribusikannya, walau bukan aku langsung yang mengantarnya, melainkan Ajeng. Hampir separuh sudah rapi tersusun dalam kotak besar, siap dikirimkan.

Kebetulan aku melihat Ajeng, aku mempercepat jalan mendekat kepadanya, karena terlalu jauh untuk berteriak. Sedetik sebelum aku memanggilnya yang hanya beberapa meter dariku. Ajeng malah berbelok ke pondok Radi lalu mengetuk pintu. Aku menyusulnya. Ingin menyerahkan kotak sabun untuk diantarkan. Saat aku berada hanya beberapa langkah darinya, hanya terhalang banyak kandang burung milik Mamang yang tergantung di plafon.

Aku terkejut saat Radi keluar di pintu dan langsung mendapat pelukan dari Ajeng. Namun bukan seperti pelukan yang ku tahu ataupun yang pernah kurasakan. Mereka berpelukan seraya menempelkan bibir mereka masing - masing.

"Berhenti, nanti ketahuan." seru Radi sembari memandangi sekeliling.

Dengan cepat aku membungkuk dan bersembunyi di balik dinding pelataran yang untungnya lumayan tinggi.

"Kau bertingkah berlebihan, aku tidak melihat siapapun saat kesini." ujar Ajeng yang membuat Radi berhenti.

Bukannya aku pergi dari sini ataupun memanggil mereka seperti tidak tahu apa - apa, aku malah nekat mengintip di jendela. Ingin tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.

"Aku merindukanmu." Radi bersuara di sela bunyi sesuatu berkecipak seperti tangan menghantam air

"Merindukanku atau tubuhku?" Kenapa Ajeng menanyakan pertanyaan begitu

"Aku sendiri tidak tahu lebih merindukan yang mana. Yang penting kau sekarang ada disini."

Lalu suara mereka teredam oleh sesuatu yang menutupi mulut mereka. Bunyi riak dari kursi kayu mengetuk lantai yang tepat di atasku. Sampai debu - debunya berjatuhan ke kepalaku.

"Kau meminum ramuan itu dengan teratur kan?" Radi bertanya berbarengan dengan suara kain menimpa lantai

"Tentu saja, dengan kegiatan kita yang aktif ini. Aku tidak ingin perutku membuncit tiba - tiba nantinya, yang ada bernasib serupa dengan wanita itu." sahut Ajeng

Mereka tampak sibuk dengan apapun kegiatan yang selama ini benar - benar membuatku penasaran setiap kali perbincangan mengarang kesana ketika aku berada di pasar.

Aku memberanikan diri mengintip mereka dari celah jendela yang terbuka. Ajeng tanpa sehelai kain duduk di atas Radi yang berbaring sama telanjangnya, dia mendesah dengan mimik wajahnya yang mengkerut, dia menjerit setiap kali melonjak dan saat Radi meremas kedua buah dada Ajeng. Tiba - tiba Ajeng dibalikkan dengan posisi Radi yang kini beralih di atas Ajeng. Wajah Radi tidak kalah tampak intens dari Ajeng sembari menggerakan pinggulnya. Radi menengadah dengan mata tertutup sembari mengeluh dengan suara seperti tercekik. Sekarang mereka beralih ke posisi yang lain, Ajeng duduk pada pangkuan Radi yang memeluknya erat. Mereka tampak seperti sepasang kulit coklat mengkilap saling melikuk serasi ke tubuh masing - masing. Tampak bagai lukisan eksotis.

"Kau benar - benar nakal." bisik suara tidak asing yang menyadarkanku

"Ryker." desis ku pelan

Aku menariknya menjauh dari jendela. "Kau sedang apa?"

"Dan kau sedang apa? mengintip mereka?" ujarnya seraya tersenyum usil

"Tidak sengaja. Aku hanya mau mengantarkan ini." kilahku seraya memperlihatkan kota - kotak dalan dekapan

"Yang benar?" goda Ryker

Aku memukulnya lalu pergi meninggalnya setelah berkata. "Tentu saja. Kau sendiri lagi apa, mau gabung bersama mereka." cecar ku sembarang

Ryker terus - terusan menggoda ku tanpa henti sepanjang jalan.

EPICARICACYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang