B37

51 20 2
                                    

Sudah tiga jam berlalu, lampu di lorong pun sudah dimatikan. Nampaknya waktunya sudah tiba. Sebisa mungkin gerakanku tidak menimbulkan bunyi. Sampai – sampai aku berjinjit menuju ruang kerja, tetapi malah menemukan ruangan itu kosong. Mungkin dia berada di kamarnya. Sebuah tangan melingkar pada pundakku.

“Kau bisa saja membuatku teriak, kalau aku tidak mengenal kebiasaanmu ini.” kata ku seraya berbalik kepada Ryker

“Benarkah, untunglah kau mengenalnya.” aku mendorongnya yang samar – samar menampakan senyuman jahil

“Baiklah, ayo kita menuntaskan keinginanmu itu.” Ujar Ryker menarik tanganku

“Kita lupa membawa lampu minyak.” Kataku saat kami sudah keluar dari pintu belakang

“Bukannya kau tidak takut gelap, gadis muda.” Godanya yang ku beri pukulan

“Tenang saja, kita tidak akan menyalakannya disini sekarang.” ujarnya lagi

Sementara aku menyalakan lampu minyak yang ada di kandang kuda, Ryker menenangkan Hitam agar tidak bersuara terlalu berisik. Beberapa meter setelah memasuki hutan, kami baru menggunakan tunggangan Hitam.

Perasaanku setenang hembusan angin. Pikiranku membayangkan bayangan sepasang manusia yang menunggangi kuda, melewati hamparan rerumputan bukit yang berkibar dengan latar bulan purnama yang memberikan cahaya penuhnya. Walau ini baru saja dimulai, aku berharap semua ini tidak berakhir cepat. Aku mencoba berdoa setiap kesempatan, Ryker segera mendapatkan surat dari Ayah yang berisi bantuan yang tidak terduga untuk menghadapi permasalahannya. Aku ingin kakakku selalu ada, seperti dulu. Aku tidak sanggup lagi memulai lingkaran menyakitkan itu lagi, ketika Ryker meninggalkanku.

“Disinilah kita.”seru Ryker

Sekarang kami sudah berada di tengah hutan temaram, suara burung hantu dan jangkrik yang kebetulannya menjadi sebuah nada yang beraturan. Ditambah gesekan dedahanan membuat hutan semakin terasa hidup. Sudah lama aku tidak ke sini sejak kuda – kuda dititipkan ditempat lain. Walau suhu sangat dingin tetapi udara pengap, sebab kalau di siang hari pepohonan memberikan oksigennya, dimalam hari dia waktunya menyerap udara.

Sementara Ryker sedang sibuk mengaitkan kekang Hitam, aku mengambil kesempatan membuka seluruh pakaian ku karena tidak akan kembali dengan baju basah kuyup. Aku menengok kebelakang, memastikan Ryker tidak melihat diriku yang telanjang. Aku menyusurui danau sampai airnya sebatas perutku. Saat kakiku sudah tidak dapat berpijak pada dasar danau, aku mulai mengayuh kakiku dan mengepakan pelan tanganku, untuk membelah permukaan air danau yang tenang. Setelah suara katak melompat ke air saat aku tidak sengaja membuat batang tumpuannya tersapu gelombang, aku mendengar sapuan ombak dari pinggir danau. Aku menoleh saat air hanya sampai menyentuh lutut Ryker, aku langsung berbalik menghindari tatapan Ryker yang sedang tertuju padaku.
Aku menenggelamkan kepala, berharap menghilangakan bayangan tubuh Ryker dari kepalaku. Tetapi air yang dingin sekalipun tidak bisa mengahapus, lengan kokoh atau dada yang bidang atau punggung yang melekuk sempurna yang tampaknya sudah terpatri dalam kepalaku. Ryker mengayuh pelan sampai akhirnya dia timbul di hadapanku. Ujung rambutnya yang basah menghias pada pelipisnya, air menetes dari ujung bulu matanya. Aku berenang membentuk lingkaran di sekeliling Ryker.

“Kau tidak kedinginan?”

“Tidak.” Jawabku lalu mendekat ke belekangnya dan melingkarkan tangan pada lehernya. “Karena kau hangat.” bisikku

Ryker tampak sempat tersentak karena tindakanku, dia tampak tidak nyaman dengan tindakanku mendadak ini. Namun saat aku ingin melepas tanganku, dia menahannya. Tanpa suara telapak tangannya menyusuri garis tanganku. Perlakuannya itu, aku menyukainya. Begitu lembut, seperti menari diatas kulitku. “Kau juga hangat.” Katanya

EPICARICACYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang