Chapter Fourteen.

129 25 0
                                    

Holaaa! Chapter ini mari kita bersenang-senang dulu yhhh sebelum badai menerjang :p

Peace ✌🏻

----○----

Paling-paling, tempat terjauh yang pernah Ren kunjungi adalah Pasar Legi Kotagede—adalah saat ketika Jendral minta ditemani membeli beberapa jajanan tradisional yang cukup asing bagi lidah mereka. Yaitu saat-saat di mana Ren masih mengagumi Jendral dalam diam dan terlampau hilang arah, saat-saat di mana Ren lebih mengharapkan Jendral ketimbang mengharapkan nilai yang bagus untuk mata perkuliahannya. Maka sebut saja Ren, sebagai remaja bodoh yang dibutakan oleh dewi cinta. Oh, mari lupakan tentang itu.

Lantas kini, Ren sedang berada di dalam sebuah pesawat yang terbang menuju suatu tempat—adalah Bali yang menjadi tempat selanjutnya, sebagai tempat jauh berikutnya yang akan Ren jejaki. Menggeser Pasar Legi Kotagede yang damai, yang jadi tempat terjauh pertama yang pernah Ren susuri bersama Jendral, tempat di mana kau akan menemukan pedagang ramah yang berderet, yang menjajakan dagangannya dengan wajah-wajah tua yang mengingatkan Ren akan kehangatan—selayak rumah, kampung, seperti tempat yang lama hilang, serta kenangan manis bersama nenek.

"Lo tidur aja sih, gue bilang juga apa. Kalo lo paksain begitu terus, yang ada malah tambah pusing nanti," Ican berujar di sebelahnya, menepuk paha Ren yang dibalut kain selimut.

"Biarin ah, gue pengen nikmatin perjalanannya dulu. Kapan lagi kan gue bisa naik pesawat?" Sahut Ren, kemudian mengalihkan pandangnya kembali pada jendela kecil di samping kiri, menatap gumpalan-gumpalan awan yang menari. Sementara Ican sudah menghela nafas lelah karena perkataannya tak didengarkan sama sekali.

Ya, tempat duduk mereka terpisah. Jendral dan Arkan, mereka duduk di baris sedikit terbelakang. Sehingga, Ren ataupun Ican perlu memutar leher juga kepala mereka—tuk sekedar curi-curi pandang. Terakhir kali Ren melakukannya, Ren mendapati Jendral tengah tertidur, sedang Ican mendapati Arkan tengah asyik dengan buku-bukunya.

"Temen lo yang namanya Jilan masih belum hubungin lo lagi Ren?" Ican bertanya, ia melipat tangannya sambil memejamkan mata.

"Iya. Kenapa ya? Udah lama banget dia nggak kabarin gue," jawab Ren, pandangannya masih tak lepas dari kaca jendela.

"Terakhir ketemu kapan?"

"Udah lama. Seminggu yang lalu mungkin?"

Ya, tetapi itu bukan hari yang bagus—mungkin bagi Jilan, bagi dia yang mendapat penolakan langsung dari mulut Ren. Sementara Ren tak ada maksud sekalipun untuk melukai hati Jilan, ia hanya berkata apa adanya—menyampaikan apapun yang sebenarnya terjadi, supaya perasaan Jilan tak semakin jauh nantinya. Walaupun Ren mengetahui raga Jilan yang malam itu tampak kuat dan tahan banting, tampak tegar dan sekeras batu karang, tampak seperti Jilan yang ia kenal—Jilan yang kini pun, masih sama dengan Jilan di masa lalu.

Jilan yang malam itu berbisik, gapapa Sa—memanggil nama usangnya dengan nada terlampau baik-baik saja. Terlampau bukan masalah seolah diri Jilan yang lain berkata bahwa itu tak berarti, tak usah dianggap serius, begitu katanya. Oh Ren jadi merasa tak enak pada Jilan. Mungkin kah hal itu yang membuat Jilan menjauh akhir-akhir ini? Maka, ini cukup serius alih-alih bukan apa-apa.

Satu jam dua puluh lima menit, rasanya begitu lama bagai dua puluh empat jam. Seolah pesawat yang ditumpanginya hanya terombang-ambing di udara, terbang di tempat. Seolah waktu tak mau berderak maju, tak mau menghadapi kenyataan dunia. Ren memejamkan mata, menghela nafas setelahnya, baru kemudian bergulir menyamping menghadap kaca jendela. Tangannya dilipat di depan dada, mencari kehangatan yang masih tersisa. Kepalanya memberat, cukup pusing sekarang. Rupanya benar kata Ican, lebih baik ditidurkan saja.

Not Supposed To Met You | Noren ft MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang