Taman Kota

38 19 0
                                    

"Ini banyak, dodol. Kalau cuma satu atau dua kresek mah, gue nggak minta bantuan sama lu!"

"Aelah, iya, iya. Ih, sini gue bantu."

Meski menjawab dengan nada ketus, Nindy tetap membantu abangnya. Entah ia menolong secara ikhlas atau tidak, tapi yang jelas itu sedikit membantu Zayn untuk membawa kresek-kresek itu.

"Taruh di mana?"

"Di dapur lah, masa di kamar lu."

"Dih, sewot! Masih mending gue bantuin!"

"Udah, taruh situ aja. Btw, Mama ke mana?"

"Oh, ada tuh di kamar."

"Ya sudah, makasih. Percuma lu nolong nggak ikhlas!"

Tanpa menjawab ocehan sang kakak, Nindy bergegas pergi. Takut jika Ulfa tiba-tiba memarahi mereka karena masalah sepele.

***

Langit sangat cerah hari ini, tidak terlihat awan mendung seperti hari-hari sebelumnya. Irene berencana mengunjungi tempat favoritnya sepulang dari kampus nanti.

"Akhirnya, setelah sekian minggu cerah juga. Biasanya jam segini mendung," gumamnya dalam hati sambil merapikan buku di tangan.

"Ren!" panggil seseorang yang ternyata adalah Fia, teman Irene sejak SD sampai sekarang.

"Eh Fia, ada apa?" jawab Irene sambil menoleh untuk melihat sumber suara yang memanggilnya.

"L-lu, ha-ha-habis ini langsung pulang?" tanya Fia yang masih ngos-ngosan karena berlari.

"Iya, soalnya udah enggak ada kelas lagi. Tapi gue mau mampir sebentar ke taman kota."

"Oke, kalau begitu gue ikut nebeng ya, sampai perempatan aja. Nanti gue naik angkot dari sana."

"gue anter sampai rumah aja, lagipula kita se-arah. Nanggung kalau cuma sampai perempatan. Tapi lu harus nunggu bentar."

"Nunggu apa?" tanya Fia heran.

"Ya, nunggu gue. Kan mau ke taman."

"Oh, oke. Memangnya mau ngapain ke sana?"

"Gabut aja sih, mau nyari inspirasi, bosen di rumah terus."

"Lah..., yaudah deh gue temenin."

"Oke deh."

"Makasih Ren."

"Iya santai."

Mereka berdua akhirnya menuju taman yang tidak jauh dari kampus menggunakan mobil milik Irene. Jarak tempuh dari kampus ke taman sekitar 20 menit, bisa lebih jika sedang macet. Untungnya Irene dan Fia pulang sekitar pukul satu siang jadi, jalanan masih ramai dan lancar. Tentunya Irene tidak menyetir sendiri, melainkan dikemudikan oleh Pak Asep, supir pribadi ayahnya.

Biasanya Pak Asep selalu ikut ayahnya dinas keluar kota, tapi karena satu bulan ini pekerjaan sang ayah ada di kota sebelah, Husain—ayah Irene—akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantor sendiri tanpa supir. Sedangkan, Pak Asep diberi tugas untuk mengantar jemput Irene.

Payung Hitam [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang