Gerimis

54 21 2
                                    

Rintikan hujan sore ini membuat Irene bingung harus pulang kuliah naik apa. Ke sana kemari ia mencari angkot, tapi tak kunjung dapat. Ingin sekali Irene menelpon bundanya yang ada di rumah, tapi apa boleh buat, ponselnya sudah kehabisan baterai sejak 20 menit yang lalu.

Kemudian, "eh eh berhenti dong, boleh nebeng? Gue bingung nih mau pulang naik apa," cegah Irene pada seorang pemuda yang menaiki motornya dengan santai di tengah gerimis.

"Boleh, dianter kemana?" tanya pemuda itu penasaran.

"Ke rumah lah," jawab Irene dengan sedikit menyolot.

"Iya tau, alamatnya di mana?"

"Oh, Perum Indah Permai, Jalan Pahlawan Nomor 34 Gang 5 Blok C."

"Yaudah naik aja."

"Oke, makasih."

Irene tak kenal dengan pemuda tersebut, tapi tak apa daripada ia harus pulang terlalu sore karena menunggu angkot yang entah sampai kapan. Di tengah guyuran hujan yang mulai deras, Irene dan pemuda itu berhenti di sebuah halte untuk berteduh.

"Kok berhenti di sini sih?" tanya Irene dengan nada sedikit ketus.

"Ya karena gue gak bawa jas ujan jadi, kita neduh dulu," jawab sang pemuda dengan santai.

"Oh...."

Hari mulai sore dan hujan masih belum reda juga. Lima belas menit berlalu, mereka masih di halte dan berharap hujan segera reda. Namun nihil, yang diharap malah semakin menjadi. Sambaran kilat mulai bersahutan, gemuruh terdengar, dan angin berhembus bagai badai sore itu. Was-was menyelimuti hati kecil Irene. Bagaimana jika nanti ia pulang lewat waktu magrib? Pasti bundanya akan mengomel dan sang ayah akan memarahinya karena pulang bersama seorang laki-laki.

"Kenapa khawatir gitu?" pemuda itu mulai membuka percakapan ketika melihat raut muka Irene yang khawatir akan sesuatu.

"Cuma takut kalau nanti sampai rumah diomelin bunda."

"Gampang, ntar gue bantu jelasin kronologi kenapa kita pulang ke sorean."

"Hm oke deh, makasih."

Sunyi kembali menyelimuti mereka berdua, hanya itulah percakapan singkat yang mereka lakukan. Selebihnya hanya diam, diam, dan diam. Termenung sembari memandangi rintik air, otak Irene mulai bersautan merangkai banyak prediksi yang akan terjadi setelah sampai rumah nanti. Jawaban sang pemuda tadi tidak langsung membuat hati kecilnya tenang. 

"Bagaimana nanti jika bundanya tidak percaya atas penjelasan yang diberikan oleh pemuda itu?"

Memang sangat repot jika harus menjadi anak satu-satunya dengan sikap orang tua yang selalu mengekangnya. Andai saja Irene bisa mempunyai adik, pasti orang tuanya tidak akan bersikap seperti ini. Pasrah dengan keadaan yang akan terjadi nanti, Irene pun hanya bisa menghembuskan napas gusar. Tanpa ia sadari hujan sudah mulai mereda. Kesibukan pikiran Irene lah yang membuatnya tak menyadari akan hal itu.

"Woy hujannya dah mulai reda, gak mau pulang lu?" teriak pemuda itu sembari menyalakan mesin motornya.

"Eh iya iya ayo." Irene yang diteriaki langsung terkejut dan bergegas naik motor yang dikendarai oleh pemuda tadi.

Perjalanan ke rumah Irene hampir sampai, pemuda itu lantas menanyakan hal yang sedari tadi ia pendam karena takut jika Irene akan menjawabnya dengan ketus.

"Btw nama lu siapa?"

"Oh, salken, gue Irene. Sorry kalau tadi tiba-tiba nebeng."

"Gue Zayn, salken juga. Btw, lu kuliah di mana?"

"Univ Nusa Bangsa, lu?"

"Oh, sama. Tapi gue udah lulus, tadi ke kampus cuma mau ambil ijazah."

"Oh, pantes."

Payung Hitam [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang