Part 2

13K 1.6K 8
                                    

Tidak ada seorang pun yang menyadari kepergian Iris. Mereka sibuk bersosialita dan mengobrol sana-sini. Iris diam-diam merasa lega lalu langsung melangkahkan kakinya dengan cepat untuk keluar dari aula. Ia baru berhenti saat mencapai taman yang letaknya tidak jauh dari aula pesta.

"Ah..., melelahkan," gumam Iris.

Ia memandangi dirinya dalam balutan gaun mewah berwarna merah tanpa lengan dengan hiasan mawar dan permata di beberapa bagian. Walau terlihat mewah, gaun itu tidak terasa terlalu berat ataupun mengusik, hanya sedikit membatasi pergerakannya dan terlalu berlebihan saja. Iris kemudian memandangi kedua tangannya yang dililit oleh sarung tangan berwarna senada.

Ada air mancur di tengah taman dan Iris pergi ke sana untuk melihat wajahnya. Ingatannya sedikit kacau, jadi ia tidak tahu pasti dengan situasinya saat ini. Yang jelas, kediaman Duke Alastair sedang menyelenggarakan sebuah pesta. Pesta untuk apa itu, Iris tidak tahu.

Malam di taman cukup hening. Sayup-sayup kebisingan pesta masih terdengar, namun dengan cepat tenggelam oleh suara hewan malam. Bulan bersinar terang di langit, ditemani oleh bintang-bintang membuat langit cerah. Jika bukan karena keadaannya saat ini, Iris dengan senang hati akan mengagumi pemandangan itu.

Dengan bantuan cahaya bulan, Iris melihat pantulan sosok dirinya di air kolam yang sedikit beriak. Ia menatap diam pantulan seorang gadis kecil berambut ungu anggur di permukaan air. Rambutnya yang sedikit bergelombang sebagian diikat dan dihiasi dengan mawar dan permata. Dengan ekspresi campur aduk, Iris berkedip lalu menyaksikan pantulan di depannya turut berkedip.

Iris, "!!!"

Jangan bilang, gadis kecil di pantulan itu dia?!

Iris merasa dirinya gila. Ia kemudian menatap mata merah tembaga itu dengan seksama sebelum akhirnya menyerah untuk menolak fakta. Bagus sekali. Setelah kehidupan pertamanya kacau, jiwanya terkurung di tempat aneh, mendapat kenyataan yang aneh dan menyebalkan, ia sekarang berada di tubuhnya saat masih kecil?!

Demi apa?! Takdir pasti bercanda padanya!!!

Iris mendadak merasa kelelahan. Ia terhuyung ke ayunan besar di bawah pohon. Setelah pikirannya dipenuhi dengan banyak hal kacau, Iris mendadak mendapati pikirannya kosong. Begitu duduk di ayunan, Iris menyandarkan dirinya dengan malas di tali ayunan.

Pantulan bayangan itu memberi Iris semua informasi yang ia tahu. Pesta ini adalah pesta ulang tahunnya yang ke sepuluh. Walaupun gadis kecil dalam bayangan itu terlihat berusia sekitar delapan atau sembilan tahun, Iris tidak akan pernah salah menebak usianya. Mengingat kehidupan lampau, Iris saat ini harusnya bertengkar dengan anak seorang Marquess yang namanya tidak lagi Iris ingat. Di sanalah rumor buruk tentang dirinya dimulai.

Jika sebelumnya orang-orang hanya menyebarkan rumor tentang dirinya yang manja dan arogan, setelah pesta ini, rumor dirinya akan semakin buruk. Orang-orang akan menyebutnya sombong dan kejam. Iris di masa lalu tidak repot-repot menentang rumor. Baginya, karena ia dikatakan kejam, lebih baik ia bersikap kejam sekalian.

Iris merasa sakit kepala. Ia benar-benar ingin kembali ke masa lalu untuk membuka kepala dirinya dulu dan melihat apa isi pikirannya. Heran. Kenapa dulu dia bisa bersikap seperti itu ya?

Angin malam menerpa dirinya dengan lembut. Kepala Iris berdenyut sakit sementara dirinya merasa mengantuk. Dengan kening mengerut, Iris mengangkat tangannya dan melepas semua aksesoris berat di atas kepalanya. Ia membiarkan rambutnya tergerai bebas lalu meletakkan semua aksesoris itu di sampingnya. Tidak sampai semenit kemudian, Iris benar-benar tertidur.


***


Sepasang mata biru gelap seperti kaca menatap kerumunan dalam diam. Suasana berisik di sekitarnya membuat pemuda pemilik mata biru gelap itu mengerutkan keningnya tanpa sadar. Ia menghentikan pelayan yang kebetulan lewat dan meletakkan gelas minumannya di atas nampan. Pelayan itu memberinya senyum sebelum beranjak pergi.

"Di mana minumanmu?"

"Habis."

Tanpa melirik ke asal suara, pemuda bersurai pirang keemasan itu menjawab pertanyaan tanpa ekspresi. Ia kemudian mendengar helaan napas datang dari orang di sampingnya. Pemuda itu melirik sekilas sebelum menatap kerumunan orang di depannya.

"Kau sudah selesai minum?" tanyanya santai.

"Sebenarnya, belum. Tapi, melihat kau berdiri di tepi kerumunan sendiri seperti ini membuatku jadi tidak tega meninggalkanmu untuk gadis-gadis lain," jawabnya dengan nada bercanda.

"Aku lebih dari senang jika kau mau menjaga jarak setidaknya satu meter dariku," balas pemuda itu dingin.

Pemuda di sampingnya menahan tawanya yang hampir tumpah saat perasaan dingin menjalar di punggungnya. Detik berikutnya, ia benar-benar menarik jarak dari pemuda bersurai pirang itu. Tidak satu meter, tapi dua meter!

"Aih, percaya padaku, Pangeran, tidak akan ada gadis yang ingin menikah denganmu kalau kau seperti ini terus," ucapnya sambil menghela napas seolah khawatir akan sesuatu.

Pemuda bersurai pirang itu diam tak menjawab. Ia menatap sekilas pemuda bersurai coklat di sampingnya sebelum berbalik dan pergi ke suatu arah. Pemuda bersurai coklat kemudian buru-buru mengejarnya.

"Ke mana kau pergi, Alex?" tanyanya.

"Ke luar," jawab Alex, pemuda berambut pirang itu lalu meninggalkan pemuda berambut coklat sendirian.

Menatap kepergian Alex, senyum di wajah pemuda berambut cokelat tadi memudar. Ia menyipitkan matanya sekilas lalu berbalik dan bercampur dengan kerumunan. Heh, hanya Pangeran tahanan saja, namun sikapnya sangat angkuh. Dia benar-benar tergoda untuk membunuh orang itu.

Di sisi lain, Alex yang keluar akhirnya mendapat sedikit ketenangannya. Hanya saja, baru beberapa langkah ia berjalan menjauhi aula, seorang pemuda berambut hitam lainnya datang menghadang jalannya. Alex menatapnya dengan tatapan bertanya sementara pemuda itu melihat sekeliling.

"Pangeran, kau sendiri? Di mana Pangeran Reon?" tanyanya.

"Di dalam," jawab Alex mengabaikan pertanyaan pertama pemuda itu.

"Sejak kapan kau peduli pada Reon, Dylux?" tanya Alex kemudian menyeringai tipis.

Pemuda berambut hitam bernama Dylux itu tertawa ringan. Baik, pangeran ini sepertinya tidak akan berubah. Sikap dinginnya dan jaga jaraknya dengan orang luar tidak akan hilang.

"Kupikir kau akan menikam orang manipulatif itu," ucap Dylux santai, benar-benar menghilangkan rasa hormatnya sebelumnya pada Reon, pemuda yang sebelumnya berbicara dengan Alex di aula.

"Kau tidak salah, aku memang ingin menikamnya. Tapi ini bukan waktunya," jawab Alex.

Mengingat statusnya sebagai pangeran tahanan, ini memang bukan waktu yang tepat untuk Alex jika ia ingin meruntuhkan kerajaan Oswald yang penuh tipu daya ini. Sejauh yang ia ingat, ia menghabiskan masa kecilnya di kerajaan Oswald bersama putra Duke Andersen yang satu tahun di atasnya, Dylux.

Baru setelah pikirannya matang, Alex mulai menyelidiki semua hal tentang kerajaan Oswald bersama Dylux. Melihat efisiensi kerja putra Duke Andersen ini, juga fakta bahwa mereka memiliki hubungan sepupu dan sama-sama menjadi tahanan, Dylux kemudian menjadi tangan kanan Alex.




***



Tinggalkan jejak, sayang~

Next =>

I'm a Villain? Oh, Just RelaxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang