Part 15

7.4K 1K 20
                                    

"Iris, ada apa?" tanya Duke Alastair berusaha melembutkan suaranya.

"Ti-tidak ada," jawab Iris lalu kembali melangkah mundur.

"Ayo kemari, biarkan ayah mengobati lukamu," ucap Duke Alastair.

Iris terbelalak kaget lalu langsung berlari menjauh. "Tidak! Tidak mau!" teriaknya.

Melihat putrinya yang ketakutan, Duke akhirnya meletakkan kotak obat di atas meja lalu kembali mendekati Iris. Kali ini, Iris tidak berlari menghindar. Ia hanya menundukkan kepalanya sementara kedua tangannya mencengkeram piyamanya. Duke menatapnya sebentar sebelum dengan mudah menggendong putrinya.

"Ada apa, Iris? Beri tahu ayah, oke? Ayah mungkin bisa membantumu," ucap Duke Alastair membujuk.

"Ti-tidak, tidak ada apa-apa," jawab Iris berbisik.

Iris tanpa sadar membenamkan kepalanya ke bahu ayahnya. Alam bawah sadarnya mencari kenyamanan dan ayahnya adalah sumber kenyamanan utama baginya saat ini.

Duke Alastair yang tidak tahu apa yang terjadi pada putri kecilnya saat ini hanya bisa menenangkan Iris. Sikap Iris mendadak berubah setelah ia melihat luka di leher Iris membuat pikirannya tanpa sadar mengaitkan perubahan emosi putrinya dengan insiden di kota.

"Benar-benar tidak ingin cerita?" tanya Duke Alastair memastikan.

"Um," Iris menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Setelahnya hening. Baik Duke Alastair maupun Iris, tidak ada satupun dari mereka yang niat berbicara. Sayangnya, keheningan ini membuat Iris mengantuk. Ia perlahan-lahan menutup matanya tanpa sadar. Hanya setelah Iris melepaskan pegangan tangannya di leher Duke, barulah pria itu menyadari kalau putrinya tertidur.

Duke tanpa sadar tersenyum kecil lalu duduk di sofa. Ia membaringkan Iris di pangkuannya dan menopang tubuh Iris dengan lengannya. Duke kemudian melirik kotak obat di atas meja sejenak sebelum menyibak rambut ungu anggur milik putrinya. Luka di leher putrinya akhirnya terlihat jelas. Luka sayatan tipis yang panjangnya tidak sampai 10 cm.

Namun, alis Duke Alastair mengerut saat melihat luka itu. Ekspresi wajahnya mengeras melihat kulit di sekitar luka putrinya berwarna biru gelap keunguan. Kalau dia tidak salah menebak, bukankah pisau yang digunakan oleh pria tadi harusnya beracun?

Duke Alastair tersenyum dingin. Heh, beraninya warga kota biasa seperti orang tadi melukai putrinya? Atau dia harus bilang, mata-mata?

Duke menyingkirkan pikirannya yang ingin menyelesaikan orang tadi dengan segera dan kembali fokus menyembuhkan luka Iris. Luka ini tidak mungkin disembuhkan dengan obat biasa. Hanya sihir dan ramuan penyembuh yang bisa bekerja cepat mengatasi racun itu.

Tanpa membuang waktu, Duke mengeluarkan sebuah botol kaca kecil yang berisi cairan berwarna hijau terang. Ia membuka tutup botol itu dan meminumkan ramuan tersebut pada Iris. Setelahnya, Duke menyembuhkan luka di leher Iris dengan sihirnya. Segera, luka di leher Iris perlahan mulai menutup. Lebam di sekitarnya juga memudar, hanya menyisakan garis merah muda tipis yang sulit dikenali jika tidak terlalu diperhatikan.

Selesai mengurus luka Iris, Duke menggendong putrinya dan membaringkannya di atas kasurnya. Ia menatap putrinya yang tertidur damai sejenak sebelum kemudian menutupi tubuh kecil gadis itu dengan selimut lalu pergi memeriksa jendela kamar Iris. Setelah memastikan semua aman, Duke akhirnya keluar dari kamar Iris.

.

.

.

"Ayah, di mana Iris?"

Menghadapi pertanyaan putra keduanya dan tatapan penasaran putra pertamanya, Duke Alastair melirik ke atas sebelum menatap empat orang pemuda yang tengah duduk di sofa dengan gugup.

I'm a Villain? Oh, Just RelaxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang