Di koridor istana, Dylux bersenandung dengan riang saat kakinya melangkah ke ruang belajar pangeran. Ia dalam suasana hati yang baik setelah akhirnya selesai mempelajari sebuah buku baru. Dylux berencana berbagi cerita dengan sepupunya, Alex. Tapi begitu membuka pintu, ia mendapati pemandangan yang mencengangkan.
"Hoi! Mau pergi ke mana kau?" tanya Dylux tanpa rasa sopan sedikitpun.
Alex yang baru saja memasang topi coklat di kepalanya menoleh dan menatap Dylux dengan tatapan bertanya. Melihat wajah sepupunya yang diambang kehancuran saat menatapnya, Alex langsung paham seketika. Dengan senyum main-main, ia memakai jaket coklat cerah yang tergantung di sampingnya.
"Pergi main ke luar," jawabnya santai.
Dylux di ambang kehancuran. Dia membanting pintu tertutup dengan punggung tangannya lalu bergegas menarik kerah Alex. Mulutnya terbuka dan tertutup seolah ingin mengatakan sesuatu, namun tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
"Apa?" tanya Alex heran.
"Kau gila?!" setelah menyaring beberapa ratus kalimat, Dylux akhirnya meneriakkan kata-kata ini.
"Aku sehat," jawab Alex tenang.
"Sehat apa?! Kau jelas-jelas tahu Reon sedang mengawasi pergerakanmu akhir-akhir ini, tapi kau berani bermain ke luar?!" Dylux berteriak dan benar-benar merasa dirinya akan gila tak lama lagi.
"Lepas!"
Alex menarik tangan Dylux dari kerahnya lalu merapikan pakaiannya yang agak kusut. Dylux dengan linglung menatap sikap Alex dan hampir meledak lagi jika saja Alex tidak angkat bicara.
"Ini hanya pergi bermain di kota, apa yang kau khawatirkan?" ucapnya.
"Tapi..."
"Pangeran itu juga pergi ke kota sesekali, ini hanya hal biasa. Tidak ada yang perlu di cemaskan," Alex memotong Dylux sebelum sepupunya itu sempat bicara.
Setelah merapikan pakaiannya, Alex pergi ke arah jendela dan membukanya. Angin lembut bertiup masuk ke ruang belajar. Dengan satu kaki di ambang jendela, Alex menoleh ke arah Dylux lalu tersenyum nakal.
"Kakak sepupu, aku akan pergi, jangan menungguku," ucapnya lalu melompat ke bawah.
Dylux menatap jendela dengan tatapan kosong. Setelah sadar dengan apa yang ia lewatkan, pemuda berambut hitam itu merasakan kepalanya akan meledak. Berapa kali sih Alex berhasil menipunya? Dylux kesal. Ia menarik napas dalam-dalam lalu meraung marah.
"Alexius Atharizz De Grant!!!"
Yah, untungnya kedap suara di ruang belajar sangat bagus. Jadi, sekeras apapun Dylux berteriak, para prajurit dan pelayan di luar sana tidak akan terkejut saat mendengarnya.
.
.
.
Di sebuah taman, seorang gadis dengan rambut ungu anggur yang di kepang dan ditutupi dengan bando merah menatap pemandangan di depannya dengan tatapan kosong. Ia berbalik melihat gadis berambut blonde di sampingnya yang saat ini sedang merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
"Jadi, ada apa dengan ini?" tanyanya cemberut.
Gadis berambut blonde itu menatap gadis berambut ungu anggur di sampingnya dengan kedua tangan memegang bahu gadis itu. "Irisku sayang! Kenapa bertanya ada apa? Tentu saja kita akan bermain di sini!" jawabnya.
Gadis berambut ungu yang tidak lain adalah Iris itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aih, dirinya menyesal mengikuti saran Chelsea tadi. Bukankah bagus kalau dia hanya tidur-tiduran di kamarnya tanpa harus melakukan apapun? Iris yakin dia pasti di sihir agar ikut bermain ke luar bersama Chelsea tadi!
"Ayah dan ibu bisa marah kalau tahu ini," ucap Iris putus asa.
Iris menatap dirinya dalam balutan pakaian santai. Atasan putih polos lengan panjang dan bawahan rok merah di bawah lutut. Ia juga memakai rompi abu-abu tanpa lengan dengan bordiran bunga di atasnya dan sepatu hitam santai.
Chelsea di sebelahnya mengenakan dress kuning berlengan pendek di bawah lutut dan rompi coklat cerah dengan sepatu santai warna coklat. Rambutnya di ikat kuncir kuda dengan hiasan bando pita.
"Selama kita tidak ketahuan, kita akan baik-baik saja," jawab Chelsea semangat.
Melihat Chelsea yang sangat bersemangat, Iris menghela napas pasrah. Baiklah, lupakan saja. Karena sudah di luar, maka akan lebih baik kalau dirinya benar-benar bermain sebentar. Hanya sebentar, untuk melepas lelah dan kebosanan. Lagipula, setelah Iris pikir-pikir lagi, tidak ada salahnya bermain ke kota sesekali.
Iris menghabiskan waktu berkeliling mengikuti kakak perempuannya. Keduanya menyaksikan pertunjukan jalanan, melihat-lihat toko aksesoris, lalu mampir ke sebuah restoran kecil saat mereka lapar. Dengan malas, Iris menguap kecil lalu meletakkan kepalanya di atas kedua tangan yang terlipat di atas meja.
"Apa kamu capek, Iris?" tanya Chelsea khawatir. Bagaimanapun, ia tahu kalau tubuh Iris sejak awal lemah, apalagi Iris baru bangun dan sedang dalam masa pemulihan.
Iris menggeleng pelan, "aku ngantuk," ucapnya jujur.
"Kalau begitu, apa kita pulang saja setelah ini? Hitung-hitung agar ayah dan ibu tidak tahu," ucap Chelsea penuh pertimbangan.
"Terserah saja," jawab Iris bergumam lemah.
Makanan yang mereka pesan datang tak lama kemudian. Chelsea dengan cepat menarik Iris agar segera menghabiskan makanannya. Karena sejak awal Iris tidak memesan banyak, Iris tentu dengan mudah menghabiskan makanannya sementara Chelsea masih memiliki dua hidangan tersisa untuk dimakan.
"Sedikit sekali? Ayo coba ini! Kue ini enak sekali!" ucap Chelsea sambil mendorong sepiring cake ke arah Iris.
Iris diam tak menjawab. Ia menunduk menatap kue di hadapannya. Potongan bolu berwarna pink lembut dengan cream putih,potongan strawberry, selai strawberry, dan parutan keju. Iris tergerak. Ia mengambil sendok dan menyuap kue ke dalam mulutnya. Sesuai kata Chelsea, kue ini memang enak.
"Bagaimana? Suka?" tanya Chelsea.
"Um, ini memang enak," jawab Iris mengangguk singkat dengan mata menyipit saat menikmati rasa kue di dalam mulutnya.
Keduanya menghabiskan makanan dalam waktu yang sama dan memutuskan untuk duduk sebentar. Setelah dirasa cukup, Chelsea berdiri dan pergi membayar diikuti Iris di belakangnya. Mengingat fakta bahwa kue di sini memang enak, Iris tidak heran saat melihat antrian di depan kasir. Jadi, dia yang bosan menunggu, diam-diam pergi keluar toko kue sendirian.
Di luar, Iris menatap keramaian dan menghela napas singkat. Ternyata kehidupan di kota seperti ini. Di kehidupannya yang sebelumnya, Iris sebenarnya sangat meremehkan pergi ke kota. Menurutnya, kota itu sangat berisik dan menyebalkan. Ternyata semua tidak seburuk bayangannya.
Saat Iris tenggelam dalam pikirannya, ia tiba-tiba disadarkan oleh teriakan orang-orang di sekitarnya. Iris yang awalnya memejamkan mata kini membuka mata dan melihat sekeliling. Hanya saja, nasib sepertinya tidak berpihak pada Iris. Seorang pria aneh tiba-tiba menangkapnya tepat saat dia membuka mata.
"Jangan bergerak! Bergerak dan lihat apakah aku akan membunuh anak ini atau tidak!" ancamnya.
Saat merasakan sebilah pisau di arahkan ke lehernya, Iris melihat dua sosok pemuda memasuki bidang penglihatannya. Begitu tatapannya bertabrakan dengan sepasang mata biru gelap seperti kaca, Iris terkejut sesaat sebelum dengan susah payah memaksa dirinya untuk tenang.
Tapi sepertinya, hatinya memang tidak bisa tenang.
Demi apa?!
Kenapa dia bisa berpapasan dengan pangeran itu dalam situasi ini?!
.
.
.
.
.
Si perampok minta mati pas nahan Iris tuh. Papanya bisa ngamuk kalau tahu 😂
See you next time~~
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm a Villain? Oh, Just Relax
FantasíaIrisbella, putri bungsu keluarga Duke Alastair yang arogan dan sombong harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara karena melukai putri Marques Houston, Helena. 20 tahun hidupnya berakhir sia-sia saat ia mengetahui kalau dirinya adalah tokoh penjaha...