1,9

172 37 2
                                    

Pagi ini, bertepatan dengan hari ke - 5 berangkatnya keluarga Jelova ke Bali. Tapi rasanya ada yang kurang di awal hari itu. Bak permainan puzzle yang bagiannya yang hilang satu, Jelova merasa sedikit timpang.

Ia menuruni satu persatu anak tangga yang menghubungkan lantai atas dan lantai bawah dengan lesu. Diraihnya selembar roti tawar dan langsung dimakannya sambil berjalan keluar.

Tidak ada Justin pagi ini.

Tidak ada telur dadar gosong, toast gosong maupun roti selai yang biasanya disiapkan untuk breakfast cewek itu.

Bukankah harusnya Jelova biasa saja?

Mereka memang tidak seakrab itu kan?

Justin hanya orang asing baginya, dan begitupun sebaliknya. Jadi kenapa cewek itu merasa berbeda ketika tidak menemukan presensi cowok dengan tinggi 178 cm itu di sekitarnya pagi ini?

Mungkinkah 'yang asing' akan kembali asing?

Jelova mendengus kecil mengingat peristiwa kemarin.

Flashback on

"Jelova," panggil Justin seusai berganti pakaian.

Mereka masih berada di kamar cewek itu. Dengan Jelova yang sibuk bermain ponsel, dan tadi Justin sibuk mengganti pakaiannya yang basah kuyup.

Cewek itu mendongak menatap wajah Justin yang sebagian ditutupi anak rambut yang basah. Jarak mereka sekitar 5 langkah, dan Justin memilih memangkasnya dengan berjalan menuju ke tempat gadis itu duduk.

"Soal pacar kamu," ucapan pemuda itu menggantung, "gimana dengan dia nanti?"

Jantung perempuan 17 tahun itu mendadak berdesir sakit. Selama ini, ia hampir lupa. Justin itu..

Orang yang telah dipilihkan orang tuanya untuk menjadi suaminya kelak.

"Jangan terlalu dipikirin. Nanti kamu stres, saya gamau punya istri gila.."

Jelova memukul perut Justin dengan kepalan tangannya. Cowok itu tertawa. "Kok malah ngelawak sih! Lagi serius ini, Om!"

"Yaudah, ulang ulang!" tawa Justin.

Si perempuan memutar matanya malas. Dalam hati ia membatin, 'lawak juga ni orang'.

Beberapa saat dalam tawa kecil, Justin kemudian meredakan kekehannya dan berlutut di hadapan cewek itu. Jelova sedikit kaget dengan perlakuan  tersebut.

"Saya boleh pegang tangan kamu?"

"Jel?"

"I– iya," cicit si hawa dengan wajah yang mulai memerah di bagian pipi. Justin memegang tangan kanan perempuan itu kemudian mengelus punggung tangannya, dengan lembut pria itu menatap manik mata Jelova yang juga menatap balik dirinya.

Jangan baper! Jangan baper! Inget ya anjwing, lo masih punya Marka. Noh cowok lu duduk di depan sendirian!

"Saya nggak akan larang kamu buat pacaran sama Marka. Tapi kamu juga harus inget batasan ya? Kalau main jangan pake baju yang terbuka juga. Kamu itu cantik banget, saya takut kamu diapa apain."

Ditatap begitu, Jelova merasa banyak kupu kupu berterbangan di perutnya. Dia merasa dihargai sekali oleh cowok itu. Ah, apa apaan nih! Strateginya bagus banget! Baper kan jadinya !

"Dah sana, kamu balik ke dia. Temenin dia dulu. Ntar sebelum magrib dia suruh balik. Solat ke mesjid."

Jelova menaikkan satu sudut bibirnya, "Tapi Marka kan non is!"

"Oh non is.." Justin manggut manggut, "ciye beda agama!"

Dia tertawa lagi, Jelova mendengus kesal kemudian melayangkan satu bantal berukuran 30×30 ke arah cowok itu. Tapi dengan tangkas menghindari serangan dadakan itu, membuat bantal malang itu mendarat di lantai.

"OM JUSTIN!!!"

— C O U P L E   G O A L S —

[✓] How To Be A Couple GoalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang