08 | JUST LISTEN

449 62 5
                                    

[Seoul, Korea —;musim panas]


Suara bel terus berbunyi di pagi hari memenuhi kamar Jimin—mengganggu si empu hingga terpaksa bangkit dari tidurnya. Sambil menguap Jimin berjalan ke arah pintu dengan langkah gontai dan mata yang setengah terpejam.

“Ya ... Sebentar. Duh padahal masih pagi sekali tapi sudah ada tamu. Apakah itu Kay?”

Suara bel terus bergema tanpa jeda—seolah si penekan tengah terburu-buru. Jimin memasukan password apartemennya kemudian membuka pintunya.

“Jimin!”

“P-presdir Jeon—”

“Jangan Jimin jangan ... Tolong jangan panggil aku seperti itu.”

Tentu ini sangat mengejutkan Jimin—pagi-pagi sekali sudah ada seseorang yang dengan ribut membangunkan Jimin dengan menekan bel tanpa henti. Ditambah sekarang ia tiba-tiba memeluknya dan menangis pula. Apalagi orang ini adalah Jeongguk, kejutan sekali bukan?

“A-apa yang kau lakukan disini?”

Bukannya menjawab, Jeongguk justru memagut birai penuh yang dirindukannya selama ini. Tiga tahun. Tiga tahun Jeongguk menanggung beban rasa ditambah tak ada satupun celah untuk berkomunikasi dengan Jimin. Jimin bisa merasakan bibir tipis Jeongguk yang bergetar—ciuman yang acak dan tak beraturan juga penuh keputus asaan dengan rasa asin dari air mata Jeongguk yang bercampur dalam pagutan itu. Untuk beberapa saat Jimin hanya membiarkannya. Toh, ia sudah ada di dalam apartemennya dan pintu juga sudah tertutup. Jadi tidak akan ada orang dapat melihat apa yang mereka lakukan.

Jeongguk melepas pagutannya dan balik memeluk Jimin dengan lebih erat dari sebelumnya. Namun, Jimin tak kunjung membalas pelukannya—ada apa? Apa Jimin tak merindukan Jeongguk juga?

“Jimin aku—”

Hyung pulanglah. Aku tidak ingin ada rumor macam-macam tentang kita.”

Menohok. Itulah yang menggambarkan bagaimana kata-kata dari Jimin terucap. Jeongguk semakin menatap penuh luka pada Jimin. Tak bisa Jimin pungkiri jika ia pun merasa sesak melihat tatapan Jeongguk.

“Kenapa Jimin? Kau tak merindukan aku?”

Hyung sadari posisimu. Kau sudah memiliki tunangan, seseorang yang akan mendampingimu ... Kelak.”

“Aku tidak perduli Jimin! Aku hanya ingin dirimu!”

Jeongguk terdiam sembari memegangi pipinya yang mati rasa. Perlahan Jeongguk kembali menatap netra kecoklatan Jimin yang berkaca-kaca menahan air mata—sama seperti dirinya. Jeongguk merasa dadanya makin sakit kala sosok yang harusnya merentangkan tangan dan menyambutnya dalam pelukan hangat justru seakan menolaknya.

“J-jimin ... Kau menamparku?”

Jimin tak bermaksud melakukan itu, demi apapun hatinya juga sakit karna melakukan itu pada Jeongguk. Namun, Jimin tak memiliki pilihan lain—berada di posisi Jimin sangat membingungkan dan sulit.

“Apa yang kau lakukan, hyung? Kau datang kembali padaku dan meninggalkan tunanganmu? Dimana otakmu?”

“Kau akan menyakitinya. Sudah cukup aku saja yang tersakiti hyung, jangan sakiti orang lain.”

“Jimin aku—”

“Pergilah hyung! Kembali pada tunanganmu. Kau tahu 'kan? Hubungan kita tak akan pernah berhasil!”

“Jimin apa yang—”

“Pergilah! Aku sudah melepasmu. Aku akan belajar melupakanmu.”

“Jimin tidak pernah ada kata putus dian—”

[END] Within The Past [Kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang