3. Sanira

4 3 10
                                    

Sanira POV

Biasanya, ketika jam istirahat pertama aku akan semangat untuk pergi ke kantin, dan makan bersama Amar tentunya. Juga, dengan kedua makhluk bernama Rara Andira dan Janesa Anass, yang selalu membuat berbagai adegan drama. Namun, pada istirahat kali ini, aku memutuskan untuk duduk diam di kelas. Mengapa? Karena, aku sedang berpikir keras tentang kejadian enam jam yang lalu.

Jujur, aku merinding. Tak pernah terbayangkan di benakku jika seorang Janesa Anass akan jatuh cinta hanya karena sebuah puisi yang katanya sangat menyentuh. Ditambah, cinta pandang pertama seorang Jane adalah Riyandi. Cowok belagu yang karena dia berhasil mengalahkanku dan mewakili sekolah ini untuk lomba baca puisi. Tak bisa dibiarkan, secepatnya aku harus menyadarkan Janesa agar tak terjerat manusia pembual itu.

Saat aku akan beranjak pergi, seseorang datang dan berdiri menghalau pintu. Membuatku tak bisa keluar karena ruang yang tersedia sangatlah sedikit.

"Minggir," Dia tak bergeming. Malah, kulihat dia berpangku dada dan menatapku datar.

"Minggir Are!" Aku menekan suaraku, sembari menatap tajam sosok di hadapanku.

Membuang arah pandangan, aku menghela napas. Mood-ku saat ini sedang kurang baik untuk melayani kulkas berjalan di hadapanku.
Selanjutnya, kuarahkan tanganku untuk menyingkirkan bahu Are agar bisa keluar kelas. Tapi, tangan yang seharusnya ada di bahu Are, kini tengah berada tepat di sebuah organ yang begitu bidang. Ini bukan salahku. Jelas, Are yang menggeser tubuhnya sehingga tanganku berada tepat di atas dadanya.

Are menatap kenakalan tanganku. Menyadari itu, kutarik tangan ini kemudian menatap Are.

"B-badan lo geser, jadi bukan salah gue." Tentu saja, lagipula apa keuntunganku bila menyengaja?

"Ini...... pelecehan." Dahiku mengernyit bingung, pelecehan katanya?

"Pelecehan apa maksud, lo? Udah gue bilang itu tanpa unsur kesengajaan ya, Re." Aku jelas membela diriku, karena nyatanya memang bukan salahku juga.

"Lo... harus dihukum." Tanganku ditariknya menuju ruang BK, sungguh, Are terlalu berlebihan.

"Re, jangan berlebihan ya. Gue gak sengaja dan lo tahu itu, please... jangan buat drama." Aku meronta sepanjang jalan. Namun, tetap dihiraukannya.

Banyak pasang mata yang melihatku ditarik oleh Are. Sial, aku tak suka jika jadi pusat perhatian seperti ini. Terlebih, cekalan Are ini sangatlah kuat. Kuyakini, tanganku akan memerah nantinya.

"Gue bakal tanggung jawab!"

Langkah Are, berhenti seketika.

"Gue bakal tanggung jawab, asal jangan bawa-bawa BK aja." Are mempercayai perkataanku, terbukti dengan cekalannya yang lepas dari tanganku.

"Lo mau gue, gimana?" Lanjutku.

Are tampak berpikir.

"Minggu pagi, di taman Garuda."

"Mau ngapain?" Tanyaku menanyakan kebingungan. Tapi, yang kudapat bukanlah sebuah jawaban. Melainkan sebuah senyuman yang membuatku mengerjap tak percaya. Seorang Are? Senyum?

°°°

"Keras, gak?" Aku mendelikan mata mendengar pertanyaan Rara. Pasalnya, ketika aku menceritakan tentang kejadian dengan Are tadi, Rara malah salah fokus pada bagian dada bidang milik Are.

"Iiiii ceritain dong San, gue penasaran. Soalnya kalau denger dada bidang tuh suka keinget Jeykey." Rara mengerucutkan bibirnya, aku pun menghela napas dan menatapnya dengan malas.

"Kalau penasaran, nanti coba pegang sendiri." Rara memukul pelan lenganku, tak setuju dengan apa yang baru saja kukatakan.

"Nanti gue disangka cewek nakal sama Are." Ucapnya. "Eh, tapi kalian ngerasa familier gak sih sama namanya? Kayak pernah denger deh gue sama nama 'Arendra' gitu," Lanjut Rara sambil menatapku.

PoliamoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang