12. Sanira

11 2 0
                                    

Sanira POV



Hari ini, aku memutuskan untuk tak masuk sekolah. Aku sungguh malas sekali jika harus bertemu pria sialan, itu. Aku, sungguh membencinya tapi, aku lebih benci pada diriku yang dulu hanya diam membeku saat dia menciumku.

Aku tersenyum miring, mengingat bahwa kemarin aku menendang paha bagian dalamnya. Membuatnya tersentak kaget sampai terduduk, dan cuss aku kabur dari sana. Bisa-bisanya dia juga nekat mendatangiku di toilet wanita. Rajen sialan!

tok tok tok

Huft, siapa lagi itu?

Aku beranjak bangun dan mulai membuka pintu. Saat pintu terbuka, dapat kulihat Amar yang sedang menyengir lebar sambil membawa sekantong keresek buah jeruk.

"Boleh gue, masuk?"

Aku membuka pintu dengan lebar, pertanda aku menyuruh Amar untuk masuk ke rumah. Iya, rumah kost. Kusuruh Amar untuk duduk di kursi kayu. Sedangkan, aku mengambil segelas air dari dapur.

"Minum, Mar." Ucapku seraya menaruh segelas air, di meja.

Amar mengangguk, "Makasih,"

"Ada apa, nih?"

"Lo... baik-baik aja, 'kan?" Aku mengangguk, "Iya, gue baik kok."

"Gue, mau ngajak lo ke rumah. Mau?"

Dahiku mengernyit, apa katanya? Ke rumah? Mau apa?

Aku berdehem kecil, "Gue lagi gak mau kemana-mana, Mar."

"Sekali ini aja, San. Please, mau ya?"

Jika aku pergi, Amar mungkin akan mengetahui ada hal yang tidak beres dengan diriku. Tapi, jika aku tak pergi aku akan merasa tidak enak. Apalagi, Amar selalu baik padaku.

"Lagipula, ini hari Rabu. Biasanya, lo 'kan yang ngajak gue jalan duluan buat minum susu jahe? Nah, kebetulan hari ini Ibu gue lagi bikin di rumah."

Benar juga. Biasanya aku yang ngotot minta Amar untuk menemaniku pergi ke taman.

Akhirnya, aku memutuskan mengangguk_mengiyakan ajakan Amar untuk pergi, ke rumahnya.

"Oke."

Tak membutuhkan waktu lama bagiku untuk sekadar mengganti pakaian. Lima atau paling lama sepuluh menit, semua sudah selesai. Seperti sekarang ini, aku yang sudah lengkap dengan pakaian kasualku tengah mengunci pintu rumah agar bisa segera naik ke motor milik, Amar.

°°°

"Pokoknya aku mau laporin guru edan itu sama polisi sekarang juga."

Aku dan Amar saling menatap satu sama lain. Merasa kebingungan ketika akan masuk rumah dan mendapati Ibu Amar berbicara demikian.

"Ya gak bisa gitu dong, Bu. Keputusan 'kan udah dibuat, anak itu sudah dihukum juga." Ucap Bapak Amar.

Menghampiri kedua orang tuanya, Amar mendudukan diri di kursi. Sedangkan, aku berdiri di belakangnya.

"Ada apa, Bu?" Tanya Amar, membuat Ibunya menatap ke arahnya. "Ini lho, Mar. Syasya rambutnya ada yang gunting, terus mentang-mentang yang gunting itu anak guru, jadi, tadi Ibu lihat malah Syasya yang disalahin."

Sejenak, Amar terdiam. Kemudian, menghela napas dan menatap Syasya. "Syasya gak apa-apa?" Syasya menggeleng, "Enggak apa-apa, kok." Ucapnya tanpa beban.

"Nah 'kan Bu, Syasya juga gak apa-apa. Udah kali, jangan diperpanjang." Sahut Bapak Amar.

"Eh, ini tuh udah masuk kategori bully, Pak." Ibu Amar jelas tak mau menerima begitu saja, sang Ibu mana memangnya yang akan tenang bila anaknya diperlakukan demikian?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PoliamoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang