I

16 1 0
                                    

Don't come back, it won't end well
But I wish you'd tell me to

***

Sejuk hawa dini hari merajuk untuk dinikmati. Dihirup dengan lembut udara atas angkuhnya kelam malam. Jendela ruang inap menampakkan kilau kuning kalem yang berasal dari beberapa lampu jalan yang masih belum dikenai Sang Surya. Sudah sewajarnya pukul empat pagi langit masih gelap tertidur pulas-menutup sisi ceria saat awan ikut serta dalam ronanya.

Ketika ibunda tak ada dalam sudut pandang, Aruna beringsut turun dari ranjang. Dengan gerak tangan yang gemetar dan gelisah ia mengenakan jaket jeans tebal guna menghangatkan tubuhnya yang sudah jelas akan dirayapi udara dingin nanti-sebenarnya juga untuk menutup seragam rumah sakit. Tanpa mengikat surai, ia hanya menggunakan topi yang sekiranya dapat menutupi wajahnya. Siapa tahu suster disana mengenali dengan jeli. Sepasang sepatu hitam putih converse ia tali gantungkan pada tempat tangan bagian kruk miliknya. Susah payah ia menetralkan napas agar tidak terlalu gelisah. Sebenarnya Aruna tak mengerti apa alasan bunda tak menemani dirinya disana. Karena yang ia tahu, bunda selalu disini-di ruang inap setiap saat. Tak sama sekali memperbolehkan putrinya itu untuk keluar bahkan hanya untuk ke kamar. Segala pemandangan elok yang diciptakan Tuhan hanya sebatas angan untuk dinikmati, bukan untuk dikunjungi.

Empat tahun sudah ia lewati di ruang inap selayaknya neraka ini. Empat tahun sudah ia kehilangan teman-temannya karena ia tak pernah bisa pergi bermain. Empat tahun sudah ia mendekap layaknya pelaku kejahatan di penjara berkedok kesehatan ini. Aruna pernah mencoba kabur, sekali. Setelah bunda mendapatinya di dalam lift lantai pertama, wanita paruh baya yang seringkali ia sebut malaikat maut itu mengurung dan mengunci ruang inapnya setiap kali ada keperluan dengan dokter dan suster.

Aruna sendiri tak mengerti bagaimana konsep rasa sayang yang sebenarnya jika bunda bersikap seperti itu. Aruna mengerti ia sakit, tapi ia juga butuh hiburan untuk mengisi hari-harinya yang semakin lama semakin sulit untuk dilalui. Sebab ia tak tahan untuk berlama-lama disana, tangan kurus itu meraih dompet dan sengaja meninggalkan ponselnya disana.

Bunda berpikir Aruna sedang tertidur pulas saat ia dipanggil oleh suster, jadi dengan langkah cepat ia meninggalkan ruang inap tanpa menguncinya. Merasa disediakan waktu, Aruna lantas tak menyia-nyiakannya. Sebisa mungkin ia mempercepat langkah menuju tangga darurat ke lantai dua dengan kruknya. Ia memilih tangga karena bunda bisa saja menemuinya dalam lift seperti setahun yang lalu. Pernah kali juga ia mencoba kabur seminggu yang lalu dan memberi hasil yang sama, namun lebih parah. Kakinya lah yang menjadi saksi bisu kegagalan percobaan kabur itu. Seperti orang kesetanan tanpa mempedulikan kaki kanannya yang masih nyeri bukan kepalang, Aruna terus berjalan sampai gadis itu berhasil di ujung pintu keluar rumah sakit. Poin paling pentingnya adalah bunda tak berhasil menjemput.

Lantas gadis itu melipir melewati jalan-jalan kecil karena demi Tuhan ia akan memukul dirinya sendiri jika bunda berhasil menemukannya. Setelah mengenakan sepatu yang tadinya menggantung di kruk, Aruna melanjutkan perjalan dengan lebih pelan. Menikmati dinginnya udara pagi sebelum fajar menyingsing. Sudah hampir tiga puluh menit ia berjalan tak tentu arah. Hanya ada bangunan-bangunan pencakar langit sejauh mata memandang. Tak ada gunung dan lautan yang ia damba untuk dikunjungi.

Ketika ia memutuskan untuk melangkah lebih jauh lagi setelah beristirahat sejenak, netranya menangkap sebuah stasiun yang lampu-lampunya masih menyala terang. Seperti tidak mati sama sekali semalaman dan terus beroperasi. Dan mungkin dari sanalah kebahagiaan akan senantiasa ia sambut.

to be continue

Six Feet Under | Jeno ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang