IX

6 0 0
                                    

Retrace my lips, erase your touch
It's all too much for me

***


Corak hitam telah mendominasi langit pukul satu dini hari. Rindang kala dedaunan saling menyapa satu sama lain menimbulkan bisik lirih pendamping. Lampu-lampu jalan setia menyala menemani setiap langkah dua insan yang tengah menyusuri daerah Jakarta.

Aruna masih betah di atas punggung Satria. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati karena Satria selalu memaksa agar gadis itu lebih baik di gendong saja daripada jalan kaki. Aruna merasa sangat nyaman dan hangat disana. Bahkan ribuan kupu-kupu telah beterbangan tak teratur dalam perut ramping gadis itu.

Tepat sejauh delapan meter dari gerbang rumah sakit Satria menghentikan langkahnya-menurunkan Aruna yang sejak tadi ia gendong di punggung. "Sampai." Ucapnya dengan selingan senyum paling manis hingga bola mata itu tertutup dan kelopaknya melengkung sempurna.

Aruna turun dari punggung kekar Satria dan menyangga tubuh dengan kruknya. Tak bisa ia pungkiri bahwa sesak dalam dada mulai menyambut. Ia benci berpisah. Maksudnya ia benci berpisah dengan pemuda yang bahkan namanya belum ia ketahui itu. Lantas Aruna tatap dalam-dalam netra hitam kelam itu-menyelam ke dasar meski tak tahu menahu seberapa dalam dan berapa banyak cerita dibalik samudera tenang dibaliknya.

"Can i kiss you?" Aruna tak ingin menyesal seumur hidup. Jadi biarkan urat malunya putus detik ini. Tak ada yang tahu kapan ia akan pergi dan pemuda dihadapannya bisa bertemu kembali dengan Aruna. Tolong biarkan ia bungkus dengan rapi perpisahan yang tak ia inginkan itu.

"How can you kiss someone while you don't even know his name, Ru?" Satria mengujar kelewar datar. Ia tatap kelopak mata gadis itu yang tak berkedip sama sekali. Lapisannya berkaca-kaca menahan bulir duka yang dalam sekian detik akan menyambut. "Satria Atmaraja. Bunda biasanya panggil saya Satria." Satria meraup oksigen sebelum melanjutkan kalimatnya, "Aruna... berjanji pada saya kamu akan lekas pulih. Lalu kita habiskan waktu lebih banyak di kemudian hari. Ya?"

Aruna tak dapat melindungi tamengnya. Runtuh sudah pertahanan yang ia bangun susah. Bulir itu menetes semakin deras sebelum kemudian ia mengangguk.

"Sebelumnya saya tidak pernah percaya pada cinta pandangan pertama. Tapi kamu... jadi salah satu pembuktiannya, Ru. Say that you fall for me too? Isn't it?"

"I am."

"Good then. This kiss will be mean a lot for us." Kedua telapak yang memerah karena suhu dingin pagi hari Satria menangkup pipi pucat Aruna. Dahi keduanya menempel hingga ujung hidung mereka bertemu. Satria kecup perlahan kening Aruna-memberi janji pada gadis itu sebab semua akan berjalan baik-baik saja. Hingga dua belah bibir plum kedua insan itu bertemu. Lumatan menemani dinginnya dini hari membuat rasa hangat menghantar ke seluruh penjuru bagian tubuh. Begitu berarti sama seperti yang Satria katakan. Aruna seakan menemukan harta karun. Untuk pertama kalinya ia merasa dicintai dan mencintai.

Satria mendekap Aruna begitu erat seakan tak rela jika perempuan itu hilang dari pandangannya. "I love you, Aruna. I mean it." Satria mengusap punggung Aruna yang bergetar hebat. Perempuan dalam dekapnya itu menangis semakin hebat meski suaranya tak menggelegar. Satria terus-terusan memberi afeksi pada Aruna agar ia tenang dan tak khawatir akan apapun yang digariskan Tuhan di kemudian hari. "Balik ke kamar ya?" Pemuda itu mengusap surai Aruna sebelum kemudian mencuri kecup singkat di pucuknya.

Aruna mengangguk dan memberi jarak untuk keduanya. "Terima kasih, Satria. Kemarin adalah hari paling berkesan untukku." Aruna tersenyum manis melihat Satria yang setia melambaikan telapak tangan kanan. Dada Aruna kembali sesak. Tidak, ini bukan karena sakit yang ia derita. Sesak itu bersemayam karena ia benci akan fakta dini ini bisa jadi pertemuan terakhir mereka.

to be continue

Six Feet Under | Jeno ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang