Part 5

6K 757 15
                                    

Sama seperti sebelumnya, aku berangkat ke sekolah tanpa basa basi dengan keluarga yang dingin itu. Setibanya di sekolah pun, aku langsung memasuki kelas dan duduk di bangkuku dengan bersandar malas.

Kubuka ponselku dan kulihat hasil perdagangan saham yang kumainkan. Sudah tiga puluh juta. Aku hanya menginvestasikan sepuluh juta sekarang sudah bertambah tiga kali lipat. Ugh, aku kaya! Aku tersenyum memikirkannya.

"Ta, lo ngapain senyam-senyum sendiri? Lagi ada apa sih liat dong?"

Vinka yang sudah duduk tepat di sebelahku hendak melirik ponselku penasaran. Langsung saja kubalikkan layarnya agar tidak dapat terlihat olehnya. "Rahasia!"

"Ih, kok main rahasia-rahasiaan sih! Liat dong Ta!" ujar Vinka dengan nada manja membuatku muak. Sok dekat sekali ya padahal aku sudah menjauh. Dia sepertinya tidak sadar mungkin!

"Gak!"

Tanpa sengaja kulihat Milka yang sedang memasuki kelas sembari bercanda tawa dengan dua temannya. Dan Milka nampaknya melirikku juga. Namun hanya sekilas seakan tak melihatku.

Heh, apa mungkin dia heran tumben aku berangkat pagi? Ini sih pikiranku.

Beberapa saat kemudian bel berbunyi. Vinka terlihat masih kesal karena kuabaikan. Aku, mana peduli. Kulihat guru memasuki kelas dengan tumpukan lembaran. Ah, kertas apa itu?

"Hari ini kita akan ulangan! Tidak boleh buka buku, tidak boleh bertanya kepada yang lain, tidak boleh contekan, mengerti?!" ujar Bu Indah, guru matematika yang terkenal killer-nya.

"Mengerti, Bu!" ucap kami serempak.

Bu Indah membagikan lembaran soal dan kertas jawaban kepada baris paling depan agar menyalurkannya ke belakang. Aku akhirnya juga mendapatkan soal. Kulirik jeli bagaimana soal kelas 10 di dunia ini, mudah atau sulitkah?

Ternyata hanya membahas persamaan aljabar sederhana dan matriks. Memang ada satu atau dua soal yang cukup sulit —bagi anak SMA. Eits, bukan baginya tapi ya. Baginya mah ini mudah, terlalu mudah bahkan!

"Silakan mulai mengerjakan! Ingat, tidak boleh buka buku, tidak boleh bertanya kepada yang lain, tidak boleh contekan, tambah tidak boleh lirak-lirik yang lain!"

Guru wanita yang kira-kira berumur 40-an itu menatap tajam satu persatu muridnya termasuk aku. Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku tak tahu. Tidak boleh lirak-lirikkan katanya.

Aku langsung mengerjakan soal dengan cermat dan menjawab sesuai lamgkah satu persatu. Sebenarnya, ada cara cepat sih bahkan aku tahu jawabannya tanpa menghitung. Sayangnya, nilai ulangan biasanya diambil dari langkah perlangkah jawabannya.

Tak disangka aku selesai terlebih dahulu. Aku berdiri dan berjalan menyerahkan lembar jawabanku kepada bu Indah. Bu Indah nampak tak percaya padaku terlihat jelas dari rautnya. Mungkin dia mengira aku malah tak mengerjakan sama sekali.

"Sudah selesai? Ini baru setengah jam loh!" ujar guru itu sembari menunjuk jam di dinding tepatnya di atas papan tulis.

"Sudah, Bu! Coba lihat hasil pekerjaan saya. Ini murni no conte-contek!" ujarku meyakinkan.

Hasilnya bu Indah masih tampak tak percaya. Ya sudahlah tidak apa-apa. Aku keluar ketika bu Indah mulai mengecek pekerjaanku. Walau kutulis rinci jawabanku, tapi juga tidak serinci kunci jawaban. Intinya, pakai otaklah agar tak menimbulkan kecurigaan apapun.

Aku berhasil keluar dari kelas. Masih sepi juga karena sehabis ulangan kan masih ada lagi pelajaran. Tapu waktu yang masih banyak sayang disia-siakan. Mau ke perpustakaan, apa yang bisa dibaca disana selain mengulang pelajaran SMA yang membosankan. Tak ada buku bacaan yang lebih beratkah?

Kuputuskan melangkahkan kaki ke rooftop untuk mencari udara segar. Dari atas dapat kulihat indahnya pemandangan kota metropolitan yang hidup. Sebelumnya, aku selalu merancang jalan hidupku. Kini, aku harus membuat jalan hidup baru. Entah sulit tidaknya, bagaimanapun harus kulalui.

"Semangat, Alenta!" teriakku cukup keras untuk menyemangati diri.

Aku pasti berhasil.

Aku juga ingin bebas.

Tampaknya keinginanku dulu terkabul. Semenjak kecil, karena banyak kesibukan yang harus kujalani belajar ini itulah, membuatku ingin merasakan apa arti kebebasan. Entah apakah hidupku sekarang dinyatakan bebas atau tidak aku tak tahu. Lagipula, orangtua Alenta tidak peduli dengan anak yang ini. Mereka hanya mengutamakan si Arlan. Aku pun tak iri karena aku bukan si antagonis Alenta. Jungkir balik apa yang dialami mereka aku juga takkan peduli.

"Ck, berisik!" Kudengar suara menjengkelkan yang sama dengan hari sebelumnya.

OMG, apa salahku sehingga harus bertemu si tukang ngeselin ini?!

"Suka-suka gue, ini mah tempat bebas buat siapapun," jawabku sarkas.

Aku mendengar dia mendecakkan lidahnya. "Gak diperpus, gak disini lo selalu gangguin gue. Jangan-jangan apa lo suka sama gue? Udah beralih dari si songong Regan itu ke gue ya?"

"Idih, pede banget lo!" Aku bergidik geli mendengarnya, ternyata bukan Regan saja yang ke-pede-an, ternyata yang satu ini pun juga pede-nya minta ampun.

"Duh, gue cabut aja. Males ngeladenin orang gak waras disini!" Aku memilih ke perpustakaan saja kalau begini. Entahlah nanti baca apa. Awalnya aku tidak ke perpustakaan karena dua alasan. Alasan pertama udah disebutin di atas tadi. Alasan kedua, karena aku gak mau ketemu sama si ngeselin Leovan itu!

"Apa lo bilang? Bilang lagi coba!"

Aku hanya mengendikan bahu sebagai jawaban dan ngicir pergi. Males banget berdebat dengan orang yang juga gak mau ngalah. Bisa-bisa aku disini ngoceh terus ngelawan dia!

"HEH CEWEK GILA, LO TADI BILANG GUE GAK WARAS YA! GUE DENGER JELAS YA TADI! AWAS AJA LO!" Aku masih mendengar teriakannya yang marah-marah mengutukku.

Sesampainya di perpustakaan meski dengan langkah agak terbirit-birit, aku akhirya dapat menghela nafas lega. Lega bebas dari si antagonis satu itu. Bukannya aku takut menghadapinya. Tidak. Aku malas saja berdebat, okey.

"Wah, apa nih?!"

Pandanganku tak sengaja tertuju pada sebuah lembar kertas berisikan soal olimpiade. Ini mah mudah! Tampaknya orang yang mengerjakan terlihat kesulitan menjawab soal terakhir. Buktinya jelas, jawaban terakhir saja belum selesai dan bahkan salah pengerjaan.

Aku mengambil bolpoin di meja dan mulai menuliskan jawaban yang sudah berkelibat dalam pikiranku. Dua menit kemudian, akhirnya aku berhasil menyelesaikannya.

"Selesai!" seruku sembari menepukkan kedua tangan singkat.

Seusainya aku berjalan mengambil salah satu buku tebal dan mencari tempat duduk untuk membaca tanpa memperhatikan sekitar lagi.

****

Tinggalkan jejak kawan 🐱

I'm Genius VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang