Epilog

260 31 28
                                    

"Udah selesai, Dy? Menulis suratnya?" tanya Ghia yang duduk di samping Ody ketika mereka masih menunggu jadwal keberangkatan di pintu gate bandara.

Ody duduk di samping kanan Ghia dengan menghadap kaca yang menampilkan luas lintasan pesawat. "Sudah," katanya pelan. Namun airmata tiba-tiba saja menetes lagi.

Ya.

Ody menangisi Aryan lagi. Untuk yang kesekian kali seperti enggan berhenti sedari tadi. Ghia pun dengan cekatan langsung membawa tubuh lemah itu untuk masuk lagi ke dalam pelukannya.

Ghia mengusap rambut Odysée penuh rasa kasihan. Seolah, bagaimana bisa setelah ia rasa Ody sudah menemukan kebahagiaan nya, semua seakan tiba-tiba saja direnggut begitu saja. Wanita ceria selama tiga bulan itu kembali menjadi wanita dengan dunia senyap lagi setelah kepergian Aryan yang entah kemana. Hingga detik ini, baik Ody maupun Ghia atau Afif mereka sama-sama tak mengetahui di mana keberadaan Ary.

Begitu juga dengan Widi Putri Utami.

Widi sendiri mendapat pukulan PALING keras ketika mengetahui bahwa adik satu-satunya itu menghilang bagai ditelan bumi.

Widi menangis bagaikan seseorang yang sedang menangis darah. Tangisnya tidak kunjung reda dari pagi sampai ke pagi lagi.

Kepala Widi selalu dipenuhi jutaan tanda tanya mengapa adiknya itu memilih untuk pergi. Padahal semuanya baik-baik saja.

Ia dapat melihat saat Ody bahagia. Ary bahagia. Ghia bahagia. Afif bahagia. Ryo bahagia. Sungguh! Widi bisa melihatnya.

Bagi Widi, tak ada yang menjadi alasan pasti mengapa Ary harus memilih untuk pergi dari mereka semua. Semua terlalu sulit untuk ia pahami. Bahkan jika Widi harus menangis darah sekalipun, dia tak akan pernah mengerti dengan keputusan yang sudah diambil oleh adiknya itu. Widi terlalu lelah untuk memahami semuanya.

Itulah yang menjadi alasan ia juga tidak pernah datang lagi ke rumah Ody untuk bekerja sejak dua hari adiknya dinyatakan hilang oleh pihak kepolisian.

Jiwanya lebur bagai melebur bersama hembusan angin. Hatinya hancur bagai dihancurkan oleh besi yang begitu berat sampai hancur berkeping-keping tak tersisa.

Entah apa yang sudah Aryan rencanakan, namun ini semua sangat sulit untuk Widi pahami seorang diri. Hatinya juga tersakiti.

Sebagai seorang kakak yang sudah dengan rela merawatnya dari kecil hingga sampai usia sekarang, Widi tak menyangka kalau Ary adiknya itu memilih keputusan untuk tetap pergi meninggalkannya seorang diri.

Namun di sisi lain hidup Widi harus tetap berjalan sama seperti dengan hidup Ody.

Seminggu sudah Widi menangisi Aryan dan kini saatnya ia melepas kepergiaan dan juga menerima keputusan berat itu.

Dengan hati yang lapang, Widi hadir di sisi Ody untuk menemani wanita anggun itu berangkat menuju Swiss untuk melakukan pengobatan. Tak hanya Widi, Ryo juga ada di sana dengan ditemani Afif di kursi kiri.

"Nanti kalau sudah sampai di Swiss jangan lupa kabar-kabari saya ya Tuan Putri Ody." ucap Afif mencoba mencairkan suasana.

Ghia tersenyum dan langsung menyahut, "Emangnya siapa kamu mau dikabarin?!"

"Lah saya kan supir yang paling ganteng yang pernah hidup di dunia," jawab Afif seraya merapikan bagian jambulnya yang tampak kelimis dengan olesan minyak.

"Hih! Kepedean!" sungut Ghia. Sementara Ody masih menunduk sedih dipelukannya.

"Nanti obatnya jangan lupa diminum ya," titah Widi membuka suara. "Kakak udah siapin semuanya rapi di koper kamu, Dy."

A Little Cup And Tea ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang