6.) Kecoa, Kopi, Pizza, dan Rafa

1.1K 87 11
                                    

Sedari tadi pandangan orang-orang di ruangan kerja terasa berbeda. Tentu saja, Sonia bodoh, apa yang kau harapkan setelah kejadian memalukan yang melibatkanmu dengan Badass Queen di PT. Multigriya Airlangga? Jangan harap mereka berpura-pura tidak tahu. Karena kebodohanku, aku tidak bisa bernapas dengan lega seperti hari-hari magangku yang lalu. Masih tersisa 40 hari menuju kebebasanku dan aku membuat diriku sendiri terancam. Bisa-bisa aku pulang dengan sambutan riang gembira oleh para pegawai perusahaan itu. Mereka tidak akan berterima kasih akan keberadaanku selama di sini, karena aku pengacau.

Kuhela napas kembali, entah mungkin yang ke sekian ratus kali telah kulakukan. Yang jelas saat ini aku merasa tak tenang, badanku terasa dingin (bukan karena AC, tapi jantungku yang terasa mencengkeram semakin kuat), aku benar-benar takut hari-hariku akan berjalan seperti di neraka.

Memutuskan rantai pikiranku yang membuatku semakin terganggu, aku kembali berusaha fokus dengan pekerjaan yang diberikan Bu Amel tadi pagi. Kalau bisa aku menuntaskannya hari ini, kemungkinan aku akan lembur sampai malam. Oke, mungkin itu pilihan yang buruk mengingat insiden tak terlupakan di depan toilet tadi, dan memilih pulang adalah hal yang terbaik untuk berkontemplasi. Tetapi, mengingat perkataan Bu Retno di ruang meeting tadi membuatku memacu semangatku. Di saat seperti ini justru aku harus memulihkan nama baikku. Tanganku bergerak menggulung sedikit lengan bajuku, menyingsingkannya dan memasang semangat 45.

Jariku pun kupaksa menari-nari di atas keyboard hingga menimbulkan suara-suara tak tik tak di sana. Kubaca lagi draft laporan yang harus direvisi itu. Untung saja Bu Amel sudah membuat note dan menjelaskan secara detail, jadi kurasa aku tak perlu bertanya lebih padanya. Gerakanku terhenti ketika Mas Sigit mendatangiku. Kudongakkan kepalaku untuk memandangnya yang sedang berdiri di dekatku.

"Iya, mas, ada apa?" tanyaku sebelum ia sempat mengucapkan satu patah kata.

Di tangannya memegang beberapa lembar kertas, tak banyak. "Eh, gak jadi deh, Son. Saya pikir kamu lagi gak sibuk." Hmm pasti minta tolong: 'fotokopiin ini dong, Son, baik deh kamu' dengan cengiran khasnya.

"Minta tolong fotokopiin itu ya, mas?"

"Eh? Tahu aja kamu, hehehe."

"Mm, coba minta tolong ke Fiola, dari tadi dia mainan hanphone terus di sana," saranku padanya, provokatif. Mengarahkan pandangku pada seorang perempuan di kubikel belakangku.

Ia malah menggeleng. "Nggak usah, mending saya sendiri. Kalo salah satu dari mereka saya mintain tolong, yang satu ikutan. Terus jadinya seabad deh, saya udah kapok."

Aku meredam tawaku dengan menutup mulut menggunakan punggung tanganku. "Oalah gitu, ya mas," timpalku kemudian.

"Ya udah, saya duluan. Semangat Sonia!" ujarnya dengan tangan mengepal ke atas, menyimbolkan sebuah pesan semangat. Kubalas ia dengan ucapan terima kasih. Ia pun pergi dari hadapanku.

Aku melakukan pekerjaanku dengan tanpa hambatan hingga tak terasa empat puluh menit telah berlalu. Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB yang menandakan jam kantor telah usai. Satu persatu dari para staf mulai merapikan meja mereka dan beranjak dari kursi. Beberapa juga mengobrol ringan sebagai tanda berkhirnya jam kerja. Namun aku masih belum tergerak dari tempatku. Kuregangkan otot leherku dan kedua tanganku mencoba meringatkan pegal-pegal.

Suara lengkah sepatu hak mendekat ke arah mejaku. Mbak Ratih. Ia terlihat sudah menenteng hand bag di tangan kirinya.

"Sonia, kamu ada acara gak?" ujarnya tanpa diawali basa-basi.

"Mau lembur rencananya, Mbak. Kenapa?"

"Lembur? Waduh, rajin banget nih anak magang. Aku mau ngajak kamu makan di Mall seberang, rame-rame kok. Tuh Mas Sigit, Mas Feri, sama Mbak Farah ikut," ujarnya antusias. "Maklum pada jomblo semua," bisiknya kemudian ditutup dengan kikikan geli.

My Sister's FiancéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang