Aku melirik Nadia yang melamun. Sedari tadi dia tidak berkedip, aku juga tidak yakin kalau dia masih bernapas kalau saja dadanya tak kembang kempis.
Perempuan di sampingku ini sedang dilanda galau tahunan. Setiap tahun dia bakal merenung karena nasib single abadinya. Lama-lama bukan hanya dia yang frustasi karena nasibnya, aku jadi ikut-ikutan!
Padahal Nadia itu cantik, lucu, kadang-kadang manis juga, tapi agak jutek sama sepertiku. Hmm apa semua aquarius begini, ya? Yang naksir sama dia juga banyak, tapi––seperti quotes nya Shah Rukh Khan di Kuch Kuch Hota Hai––dia cuma percaya cinta terjadi satu kali. Agak sama sepertiku, tapi aku tidak suka menunggu, bertindak lebih diperlukan agar tak karatan menjadi jomblo. Tapi untuk saat ini aku menikmati kesendirianku dulu. Aku tak ingin gegabah dalam menentukan masa depan.
Lihat saja perempuan itu yang sekarang menggigiti sedotan minumannya. Tampak benar-benar frustasi. Kalau dia mau kubantu, sudah dari dulu aku lakukan untuk mencomblanginya, tapi dia sendiri menolak.
Kurasakan ponselku bergetar di saku depan celana jeansku. Aku mengerutkan dahi ragu kepada id caller yang tertera. Uh-oh, Am I dreaming after drinking fanta? Because I am in fanta-sea!
"Ya. Halo?" jawabku. Kurasakan jantungku tiba-tiba berteriak kegirangan tak tahu malu.
Melalui mataku, kulihat sekarang Nadia berhenti melamun dan menatapku. Mulutnya bergerak membentuk isyarat siapa. Aku membalas dengan isyarat yang sama. Rafa. Ekspresi Nadia berubah terkejut, mulutnya terbuka. Mencegahnya agar tak berisik, aku membuat gestur jari telunjuk berada di depan mulut.
"Sonia," ucapnya dengan suaranya yang dalam.
"Ya, kenapa Kak?" tanyaku.
"Bagus, akhirnya kamu udah gak lagi terbata bilang Kak jadi Pak." Okay, dia tak menjawab pertanyaanku.
Aku berdeham kecil. "Iya, Bapak Rafa, ada yang bisa saya bantu? Atau dalam kalimat lain versi non-formalnya: langsung saja, ada perlu apa pakai nelfon segala? Pasti ada maunya kan. Hmm... sudah kudugong." Entah sejak kapan pula, aku sudah tak secanggung dulu saat berbicara padanya. Aku hanya ingin apa yang terjadi, terjadilah secara alami. Meski, satu dan lain hal kadang membuatku tak bisa bertingkah alami di depannya, terutama ketika ia mulai menunjukkan afeksinya kepadaku yang membuatku bingung.
Ia menyemburkan tawa di seberang sana. Aku heran, kenapa sih dia gampang sekali tertawa dengan jokes-ku yang receh? "Saya perlu bantuanmu," ujarnya usai tawanya reda.
Benar kan, ada maunya. "Bantuan apa, Yang Mulia?"
"Kamu dimana sekarang?"
"Di Mall." Aku menyebutkan nama pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Selatan. Dia kemudian bertanya lebih spesifik tempatku berada. "Di Kafe Stardust," jawabku.
"Tunggu disitu, saya mau kesana sebentar lagi," tukasnya yang membuatku terbengong-bengong. Apa aku tak salah dengar kalau dia mau kesini? Apa dia serius? Mau apa dia menyusulku?!
Aku tersadar saat ia memanggil namaku entah yang keberapa kali. "Iya, kak?" kataku gelagapan.
"Kamu sama siapa disana?"
"Sama teman."
"Siapa? Cewek atau cowok?"
"Cewek. Ada apa ya, kok tiba-tiba? Mau nraktir apa gimana nih? Mohon dijelaskan dengan singkat, Pak Rafa."
"Saya gak punya waktu banyak di telefon, Sonia. Saya jelaskan di sana saja, ya? Oke, deal, nanti saya traktir kamu pizza."
"Loh, kan saya minta penjelasan singkat, bukan bikin makalah. Pizza? Dipikir saya gampang disogok begitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sister's Fiancé
RomanceBagaimana perasaanmu saat dinomor duakan oleh orang terdekatmu? Aku terlahir sebagai anak kedua, sudah itu dinomor duakan pula oleh keluarga sendiri. Tapi kan kak Arania sudah sempurna! Perlukah orang sempurna diberi kasih sayang sempurna? Mentang...