3.) He is My Boss

1.4K 82 11
                                    

Papa sedang membaca berita online dari tab-nya, Kak Arania sedang membaca majalah fashion terbaru, Mama sedari tadi berada di ruang tamu sedang video call dengan teman-teman arisannya, dan aku--aku sibuk memencet tombol remot tv asal-asalan, mengganti chanel satu dengan chanel lainnya, sama sekali tidak tertarik dengan gambar bergerak disana.

Aku, Papa, dan bunglon alias Kak Ara berada di ruang keluarga dengan kesibukan masing-masing. Setelah peristiwa setengah jam yang lalu, peristiwa perang dingin antara aku dan Rafa. Mereka mendiamkanku, Papa yang biasanya bersikap netral malah ikut-ikutan. Harus kuakui perbuatanku tadi memang agak keterlaluan. Tapi kan bukan hanya aku yang berperilaku tidak sopan, bahkan terang-terangan dia menolak menyelesaikan kekacauan tadi, sekedar membantuku pun tidak. Bertanggung jawab untuk membereskan gelas saja tak sudi, apa lagi rumah tangga?

Aku menyandarkan kepalaku di bahu papa. “Papa…,” panggilku lirih berlagak manja.

Ia hanya bergumam lalu melanjutkan berselancar di internet.

“Papa marah?”

“Nggak, Cuma kecewa,” kata Papa datar sambil membetulkan kacamatanya di hidungnya yang bangir.

Aku merengut. “Maaf.”

“Minta maaflah sama Rafa,” balas Papa masih tanpa memperhatikanku. Indera pendengaranku sepertinya harus kuperiksakan sekarang juga deh. Papa memintaku melakukan hal paling laknat sedunia? Apa tidak salah? Tidak akan!

Kucebikkan bibirku seraya mengangkat kepalaku dari bahu Papa. Aku memilih tidak menggubris permintaan Papa. Kuganti saluran televisi kembali, mencari objek penghilang rasa kesal. Namun, yang kutemukan hanya sinetron tak masuk akal yang menggelikan. Karena putus asa, aku mematikan televisi. Aku menarik pantatku dari sofa, beranjak meninggalkan kesunyian di ruang tengah.

"Sonia." Suara milik Kak Ara yang memanggil namaku berhasil menghentikan langkahku yang akan menaiki tangga. Aku membalik tubuh demi mendengarkan ucapan tak penting yang akan keluar dari mulutnya.

“Bisa nggak sih lo sopan dikit sama Rafa?” Matanya masih sibuk dengan majalah di tangannya. Tetapi suaranya sarat akan keseriusan.

“Bisa nggak sih dia nggak usah angkuh kaya gitu?” tanyaku balik.

Kak Ara mendecak jengah. “Tumben banget deh lo nyari masalah sama pacar gue. Dulu sama mantan gue lo cuek aja. Kenapa sama Rafa lo ngajak ribut?” Ya karena dia yang rese. Duh, dahulu aku tidak peduli karena mantan-mantanmu tak cari masalah denganku.

Aku mencibirnya pelan. Tiba-tiba saja dia mengalihkan pandangannya dan menatapku.

Kak Arania meletakkan majalahnya di meja. “Gue serius. Jangan-jangan lo naksir sama dia?”

Kuputar kedua bola mataku, lelah. “Hah? Ngapain juga, lo pikir gue kaya lo, sekali kenal langsung kepincut. Hei Maemunah, denger ya, lagian kalau gue naksir nih, ga bakal gue katain langsung di depan mukanya.”

Wajah kak Arania mulai memerah, tangannya kembali mengambil majalahnya. Kedua matanya melotot mirip Suzana. Lalu dengan cepat tanpa kuduga dia melemparkan ke arahku.

Tetapi meleset. "Jiahahaha," tawaku tersembur.

Tanpa susah payah kuhindari pun majalah itu tidak akan mengenai wajahku. Aku tertawa ngakak mengejeknya. Papa yang melihat kelakuan kami hanya berdecak sambil menggelengkan kepala. Kujulurkan lidahku ke arah Kak Ara yang wajahnya seperti kepiting rebus menahan amarah, tak pikir panjang aku mengambil langkah seribu menghindari tatapan kesalnya dan menuju lantai atas.

***

Demi menyelesaikan S1-nya pasti mahasiswa akan menyusun skripsi, tidak luput dari aku yang notabene adalah mahasiswi semester 7. Walau aku memang malas bukan berarti aku mau menjadi mahasiswa abadi untuk menyelesaikan studiku. Sudah pasti aku akan didepak dari universitas yang cukup bergengsi di Jakarta ini jika melampaui deadline.

My Sister's FiancéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang