Aku tidak pernah menyangka sebelumnya akan mengalami hidup yang berlika-liku penuh drama semenjak magang di kantor ini. Satu tempat dengan dua biduan (baca: Phoebe dan Viola) yang sering adu mulut denganku itu ide yang buruk, berkelahi dengan cewek seksi mirip Ariel Tatum (baca: Bianca) sangatlah buruk, hingga diterpa gosip murahan sebagai pelakor pacar kakakku (baca: Rafa) sendiri jauh teramat sangat seperti mimpi buruk. Karena kesialan yang bertubi-tubi menimpaku tersebut, aku semakin membenci eksistensi diriku sendiri di dunia yang fana dan penuh kepalsuan ini. Setiap malam aku selalu dilanda over thinking untuk menyambut hari esok, seolah bersiap-siap akan hal sial apa lagi yang akan kuhadapi.
Ya, memang sesial itu yang kurasakan. Namun, itu lah hidup, memang banyak pahitnya sebelum menuai manisnya.
Hah, tapi kapan manisnya, Ya Allah????
Lagi-lagi batinku mulai merengek.
Meski begitu, seiring berjalannya waktu dua bulanku di sini, aku merasakan banyak nilai kehidupan yang dapat kupanen. Tentang dunia kerja yang begitu kejam dan aku yang harus belajar lebih tangguh menghadapi pekerjaan di masa depan, tentang menulikan telingaku terhadap gosip-gosip yang tidak benar, tentang berperilaku baik dan pandai berbicara terhadap orang baru, dan tentang aku harus bekerja keras sampai darah penghabisan agar setajir Rafa Dana Airlangga!
Poin terakhir benar-benar aku garis bawahi dan kucoret dengan highlight kuning mentereng sekaligus kubulati dengan bolpoin merah. Tentu saja bukan secara harfiah. Jujur saja, aku ingin sekaya Rafa sehingga untuk membeli kalung berlian terasa semudah membeli siomaynya Kang Emon. Sosok Rafa menjadi inspirasiku untuk bekerja sungguh-sungguh dan tidak malas-malasan. Meskipun aku tahu ia lahir ke dunia sudah kaya raya, tapi bagaimanapun ia memiliki kemahiran dalam bekerja dan berbisnis.
Masa magangku akan berakhir dalam hitungan hari lagi. Senang bercampur sedih menjadi satu. Senang karena aku lolos dari tugas kuliah wajib semester tujuhku, sedangkan sedih karena harus berpisah dengan orang-orang yang dekat denganku di sini—terutama Mbak Ratih dan Mbak Ambar. Dua orang itu sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Mereka selalu ada dari awal aku di sini dan di hari-hari terakhir. Kita bertiga bahkan memiliki janji untuk merayakan perpisahan dengan makan bersama. Jujur, aku merasa tersentuh dengan sikap mereka yang welcome kepadaku, meski aku sering membuat ulah, mereka dengan sabar memberi nasehat dan dukungan kepadaku.
"Alhamdulillah, ikut seneng aku sih kalau kamu udah mau kelar. Bisa ga, Son, abis lulus kamu ngelamar kerja di sini aja?" tanya Mas Sigit. Kami berlima—Mas Sigit, Mas Feri, Mbak Ambar, dan Mbak Ratih—sekarang berada di kantin yang lumayan ramai. Sekitaran lima menit sudah kami mengobrolkan tentang diriku yang akan menyelesaikan magangku.
Aku tersenyum kecil seraya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Mas Sigit. "Rencananya aku pengen ngerantau di Bandung atau Bogor sih, Mas. Pengen cari suasana baru, udah bosen dari TK sampe kuliah di Jakarta terus."
"Tapi UMR Jakarta lebih tinggi lho, Son. Masa mau cari yang lebih rendah?" Mas Sigit menimpali lagi dengan pertanyaan.
"Aku tau, tapi biaya hidup di sini juga mahal. Tujuan utamaku sih ya emang buat cari suasana baru yang bikin aku lebih rileks, jadi kupikir Bandung tempat yang cocok."
"Aku juga setuju sama Sonia, walaupun aku dari Jawa Timur, aku rasa Bandung itu lebih memberikan ketenangan batin," ujar Mbak Ratih seraya menumpukan kedua sikunya, membentuk gestur penuh penghayalan, "Berhubung faktor ekonomi, ya jelas aku pilih Jakarta lah, ya," lanjutnya.
"Emang kamu ada saudara di sana?" tanya Mas Feri lagi padaku.
"Ada, tapi aku gak kepikiran buat tinggal di sana. Pengennya ngekost aja, biar lebih bebas," balasku. Kedua tanganku yang bersila kurenggangkan, lalu tangan kananku kubawa menumpu dagu seraya membayangkan ucapanku barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sister's Fiancé
RomanceBagaimana perasaanmu saat dinomor duakan oleh orang terdekatmu? Aku terlahir sebagai anak kedua, sudah itu dinomor duakan pula oleh keluarga sendiri. Tapi kan kak Arania sudah sempurna! Perlukah orang sempurna diberi kasih sayang sempurna? Mentang...