#14

6 1 0
                                        

*Selamat Datang di Rimba Sekolah*

Jadi, ternyata duduk di meja kosong di kantin bisa menjadi masalah besar.

Siapa sangka?

Saat aku duduk di bangku dingin itu, keramaian kantin seketika mereda. Ratusan pasang mata menatapku, percakapan berhenti, dan sendok-garpu berhenti di udara. Seolah-olah aku memicu alarm tak terlihat.

Menarik.

Aku memandang sekeliling, menyadari perubahan atmosfer yang tiba-tiba. Murid-murid berbisik sambil menutup mulut mereka, sesekali melirik ke arahku. Aku tak paham protokol sosial apa yang kulanggar, tapi jelas aku mengganggu tatanan alami mereka.

Sekelompok lima orang mendekatiku—bertubuh kekar, percaya diri, seperti pemangsa. Pemimpin mereka memiliki bekas luka di alis kiri dan senyum sinis yang menunjukkan betapa tingginya dia menilai dirinya sendiri.

"Kau duduk di tempat kami," katanya sambil menyilangkan tangan.

Aku menatapnya. "Aku tidak tahu kalau tempat duduk di sini sudah ditentukan."

Dia tertawa kecil, tapi tanpa humor. "Memang tidak. Tapi semua orang tahu ini meja kami."

"Semua orang kecuali aku, sepertinya."

Kantin semakin sunyi, jika itu mungkin. Teman-temannya terkekeh, seolah menantikan pertunjukan.

"Kau anak baru," katanya pelan, seolah berbicara kepada anak kecil. "Jadi aku beri kau satu kesempatan untuk pindah."

Aku mempertimbangkan tawarannya. Secara logis, aku bisa saja menurut untuk menghindari konflik yang tidak perlu. Tapi di sisi lain, ini kesempatan untuk mengamati respons perilaku manusia terhadap non-konformitas.

"Aku rasa aku akan tetap di sini," jawabku.

Senyumnya menghilang. "Apa?"

"Aku sudah duduk. Tidak efisien jika aku pindah sekarang."

Dia meletakkan tangannya di meja, mendekat hingga aku bisa mencium aroma permen karet yang dia kunyah. "Kau bodoh atau gila? Pilih yang mana?"

"Sejauh yang kutahu, tidak keduanya."

Tawa kecil terdengar di sekeliling kantin, meski aku tak yakin kenapa. Wajahnya memerah, tanda jelas peningkatan agresi.

"Kau tahu siapa aku?" dia menuntut.

"Seseorang yang mencoba menegaskan dominasi atas wilayah yang dianggapnya milik," jawabku.

Lebih banyak tawa. Teman-temannya saling pandang dengan alis terangkat.

"Dia mempermainkanmu, Rico," salah satu dari mereka berkata.

Rico. Catat.

Wajah Rico menegang. "Kau pikir kau lucu?"

"Humor itu subjektif."

Dia meraih kerah bajuku, menarikku berdiri. "Dengar ya, kau kecil—"

Sebelum dia selesai, aku menghitung kekuatan yang diperlukan untuk melepaskan diri tanpa menyebabkan cedera. Sedikit putaran pergelangan tangan, langkah ke samping, dan—

Rico terhuyung ke depan, melepaskanku saat dia mencoba menjaga keseimbangan.

Desahan kaget terdengar di sekeliling kami.

"Apa—?" Dia berputar, matanya menyala marah. "Kau mati!"

"Tidak mungkin," kataku. "Secara statistik."

Dia menerjang ke arahku, gerakannya mudah terbaca. Di lingkunganku sebelumnya, kurangnya strategi seperti ini dianggap primitif. Aku menghindar lagi, dan dia menabrak meja di belakangku, membuat nampan dan makanan berhamburan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Genius : The last oneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang