Tidak ada yang tau tentang takdir, sekalipun itu mungkin makhluk kesayangan Tuhan.
_________________________________________________________________________
"Phi, aku punya sesuatu untukmu. Tidak ingin pulang?" Ujar gadis cantik dengan rambut terurai.
Terdengar suara helaan nafas yang berat di seberang panggilan, "Bisakah kau menunggu sedikit lagi? Phi akan segera pulang untukmu."
"Kita akan pergi berlibur?" Lagi - lagi si cantik dengan kaos putih bergambar kura - kura itu tersenyum, tampak excited mendengar jawaban dari seberang panggilan.
"Eum, kita akan berlibur. Tapi tidak ke tempat yang jauh. Phi akan mengambil cuti beberapa hari ketika pekerjaan selesai."
"Selama itu denganmu, aku setuju saja phi."
"Jane, Phi pulang dulu naa.." Singto baru saja muncul dari balik pintu kamar, membuat Jane sedikit terkejut sebelum mulai merengek, "Aauuuu..... Phiiii... Kenapa buru - buru? bagaimana jika sedikit lebih lama?"
Singto menggelengkan kepalanya pelan, "Sampai jumpa Jum'at depan di rumah phi, naa?"
Jane hanya mempoutkan bibirnya, tampak semakin menggemaskan dan membuat Singto terkekeh sembari berlalu.
"Jane?" Sapa Krist dari seberang panggilan membuat Jane kembali teringat jika ia masih dalam panggilan dengan sang kekasih.
Jane dan Krist melanjutkan panggilan hingga larut, seperti itu dan selalu begitu.
Waktu terasa begitu cepat, hingga tanpa sadar Jum'at lagi - lagi telah tiba. Tidak seperti Jum'at malam sebelum- sebelumnya, kali ini Jane berpamitan kepada Krist akan pergi bersama teman - temannya. Mungkin akan pulang malam, sehingga ia mengatakan jika tidak akan menginap di tempat Singto. Tentu saja pemuda yang tengah di mabuk asmara itu memberikan ijin, sekalipun rasa khawatir terus menyelimutinya.
Jika Krist baru memberikan ijin setelah sedikit perdebatan, maka berbeda dengan Singto yang langsung menyetujuinya. Sebagai seorang penulis sebuah novel yang tengah di kejar deadline, tentu menulis tanpa gangguan adalah yang ia butuhkan saat ini. Bukan menyebut Jane sebagai pengganggu, hanya saja ia butuh ketenangan. Karena jika Jane menginap dan lagi - lagi ia perlu mendengar betapa posesifnya Krist terhadap sang sepupu cantiknya itu, maka semua imajinasi di dalam pikiran akan lenyap begitu saja.
Di sisi lain, Krist setuju setelah memikirkan jika dirinya perlu waktu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum sabtu dini hari pergi ke Bangkok untuk memberi kejutan kepada Jane.
.
.
.Seperti yang telah di rencakan, Krist tiba di Bangkok pagi hari sekitar pukul 7. Ia tidak langsung pergi ke kediamannya, namun berhenti di rumah Jane untuk melepas rindu. Pemuda berkulit putih bersih dengan kemeja hitam polos serta celana jeans navy sebagai bawahannya itu turun dari sebuah taksi. Tas besar berada di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegang ponsel. Kedua matanya menatap kesana - kemari, mengamati beberapa orang yang tampak datang ke rumah didepannya. Sepertinya sedang ada acara di rumah ini, hingga beberapa tamu tampak keluar masuk. Tidak ada yang ia kenal disana, kedua orang tua Jane juga tidak terlihat. Jadi, Krist berinisiatif untuk segera menghubungi Jane.
Panggilan tidak terjawab pertama, ia mencoba menelfon lagi, tetapi lagi - lagi panggilan itu tidak terjawab. Sekali lagi ia mencoba memanggil, hingga seorang pemuda tampan keluar dari rumah itu, berdiri tak jauh dari Krist yang tengah melakukan panggilan.
"Khab?" Suara itu, Krist mengenalnya.
"Khun Singto?" Krist menjauhkan ponselnya, menyapa pemuda yang baru saja berdiri di sampingnya.
Singto cukup terkejut, karena pemuda yang menyapanya adalah pemuda yang selalu menjadi wallpaper ponsel Jane.
"Krist?" Singto ragu untuk bertanya, berbeda dengan Krist yang langsung excited menganggukkan kepala.
"Dimana Jane? Kenapa kau yang menerima panggilanku? Apa aku datang di waktu yang kurang tepat? Apa kalian sedang ada acara? berdoa bersama?" Tanya Krist dengan senyum cerah yang membuat Singto semakin gugup.
Singto menjilat bibirnya ragu, "Jane..."
"Nong Krist?" Suara itu terdengar sangat familiar, Krist segera menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita cantik berumur empat puluhan tampak berlinang air mata. Wajahnya cukup pucat, menunjukkan betapa hancur perasaan wanita tersebut.
"Jane..." Suaranya terdengan putus asa, membuat Krist mengerutkan kening tidak mengerti. Ia berjalan mendekat pada wanita tersebut, "Putriku telah pergi..." Ujarnya yang berhasil membuat tangisannya pecah.
Krist membulatkan mata tidak percaya, betapa hancur hatinya mendengar kalimat itu. Ia kembali mengalihkan pandangan pada Singto. Pemuda itu lantas meraih kerah kemejanya, "Apa maksudnya? Apa yang terjadi?"
"Maafkan aku Krist, tapi Jane mengalami kecalakaan semalam." Jelas Singto dengan sedikit ragu, pasalnya wajah Krist benar - benar tidak bersahabat saat ini.
"Apa kau bodoh? Apa menjaga seorang gadis sangat sulit untuk lelaki sepertimu?"
"Kau kekasihnya, kenapa tidak kau sendiri yang menjaganya?"
"Yak! Kau! Aku menyuruhmu menjaganya! Aku mempercayakan dia padamu karena kau sepupunya! Lalu ini apa? Kau pembunuh! Kau seorang pembunuh!" Krist mendorong Singto cukup kuat sebelum ia berjalan ke arah wanita yang ternyata merupakan ibu Jane. Sedangkan, Singto hanya mampu termenung setelah terjatuh.
"Mae..." Bisiknya, suaranya terdengar tipis menyayat pendengaran. Wanita tersebut memeluk Krist, menumpahkan kekacauan hatinya.
Krist tidak menangis, sama sekali tidak ada air mata di wajahnya. Bahkan ketika ia berjalan ke arah tubuh Jane yang terbujur kaku di dalam peti, ia sama sekali tidak menitihkan air mata, sekalipun itu adalah kali terakhir dirinya untuk menatap gadis cantik yang telah menutup mata itu. Semua orang mengira jika pemuda berkemeja hitam itu tampak baik - baik saja, mengira jika dirinya adalah sosok yang kuat atau mungkin memang ia tidak memiliki perasaan yang kuat pada Jane.
Krist tetap terlihat baik - baik saja hingga tangisnya pecah saat di pemakaman ketika peti perlahan mulai memasuki liang lahat. Ia tak sanggup lagi menahan air mata yang dengan derasnya keluar begitu saja tanpa permisi. Membuat Singto dengan sigap meraih tubuh yang mulai melemas.
Krist yang sebelumnya terus menemani ibu Jane pun memilih memundurkan diri, di temani Singto yang memapahnya berjalan keluar dari kerumunan. Entah Krist menyadarinya atau tidak, tetapi pemuda berparas cantik ini tidak menolak kehadiran pemuda tampan di sampingnya itu.
.
."Nak, menginaplah barang sehari saja." Ujar Ibu Jane ketika mereka telah di rumah.
Hari sudah cukup gelap, pemakaman telah usai, tamu juga sudah mulai berkurang. Krist ingin membaringkan tubuhnya, ia ingin beristirahat.
Krist menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf mae, tapi aku harus pulang. Aku belum ke rumah sama sekali sedari tiba di Bangkok."
Ibu Jane mengangguk mengerti, "Biarkan Singto yang mengantarmu."
Krist menggelengkan kepala, menolak tawaran dari Ibu Jane, "Aku akan pergi dengan taksi."
"Biarkan aku mengantarmu, ini sudah cukup malam. Akan sedikit lama jika menunggu taksi. Bukankah kau ingin segera beristirahat?" Tawar Singto yang baru saja muncul dari balik punggung Ibu Jane.
Krist tidak memiliki pilihan, ia tak punya alasan lagi untuk menolak mereka yang menawarkan kebaikan. Ia setuju pulang dengan Singto, segera pemuda berparas cantik itu mengambil tas besarnya sebelum masuk kedalam mobil yang telah terparkir di depan rumah.
Singto duduk di balik kemudi dalam diam, sedangkan Krist menyusul setelah berpamitan sekali lagi dengan Ibu Jane.
"Aku setuju pulang denganmu, bukan berarti aku lupa jika kau adalah pembunuh Jane."
.
.
.
.
.
..T.E.B.E.C.E.H.

KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Future (SK) (END)
FanfictionJane adalah sosok yang cantik, memiliki Krist adalah kebahagiaan tersendiri untuknya. Namun, takdir telah berkata lain. Sang penulislah penentunya.