0.6

225 29 0
                                        

Jangan menilai orang hanya karena pernah bertemu sekali dua kali.
________________________________________________________________________________

"Aku menunggumu."

Jika seorang wanita yang mendengar itu, tentu akan tersentuh hatinya. Namun berbeda dengan Krist yang hanya mengerutkan kening.

"Sebenarnya apa maumu? Apa ada yang ingin kau katakan? Apa ini tentang Jane?"

"Jane? Lagi? Apakah tidak ada hal lain yang kau pikirkan selain dirinya? Apa kau tidak memikirkan dirimu sendiri?" Tanya Singto, ada setitik rasa kecewa ia mendengar nama sepupunya itu. Apakah membuka hati untuk orang lain sesulit itu? Berapa lama waktu yang Krist butuhkan? Seumur hidup kah? Atau hanya beberapa tahun lagi?

Lagi - lagi Krist mengerutkan kening, alisnya saling bertaut mendengar ucapan Singto.

"Tau apa kau dengan apa isi pikiranku? Kau tidak tau apapun!" Nada Krist meninggi, tau apa Singto ini tentang dirinya. Pemuda di hadapannya itu hanyalah sosok asing yang memasuki hidupnya tanpa ijin. Bahkan mereka hanya sekedar "tau", bukan saling kenal.

Singto menghela nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Benar, aku tak tau apapun tentang isi pikiranmu ataupun dirimu. Aku hanya sekilas mendengar suaramu saja di setiap jumat malam beberapa tahun lalu. Aku hanya mendengar cerita tentang dirimu saja barang sekilas. Namun, itu semua membuat rasa penasaran muncul. Kupikir rasa itu-"

Singto ingin berbicara lebih, namun suara ponsel menginterupsi. Nama Fiat tampak di ponsel Krist.

"Hmm? Ada apa?" Tanya Krist begitu saja, kedua matanya masih menatap rasa tidak suka ke arah Singto.

"Apa?!" Kini suara Krist memekik terkejut, "Phi akan kesana!"

Krist hendak pergi setelah memasukkan kembali ponselnya, namun Singto menahan. "Apalagi? Aku tidak ada waktu mendengar ocehanmu!"

"Aku akan mengantarmu..." Suara Singto benar - benar lembut dan suara ini mampu membuat Krist menyerah dengan gengsinya.

"Ke Rumah sakit." Ujar Krist, Singto hanya mengangguk.

Keduanya pergi berkendara ke arah rumah sakit, dengan keheningan. Begitu sampai, Krist hendak turun dengan tergesa-gesa.

"Hey, bisakah kau sedikit tenang?" Singto menahan lengan Krist.

"Kau gila?! Bagaimana aku bisa tenang saat aku mendengar adikku kecelakaan?!"

Singto lagi-lagi menghela nafas dengan berat, "Fiat bisa menghubungimu. Itu tandanya dia baik-baik saja. Jadi tahan kekhawatiran berlebihanmu itu, agar Fiat tidak menyesal menghubungimu."

"Kenapa dia harus menyesal menghubungi phi nya?"

"Tentu saja dia tidak ingin menambah beban phi nya yang sibuk bekerja dengan masalahnya sekarang."

Krist mengerti maksud Singto, ia melirik ke lengan kanannya dimana pemuda itu masih memegang. Mendapat lirikan itu, tentu saja dengan segera tangan Singto terlepas. 

Krist cepat-cepat turun dari mobil, disusul oleh si sopir yang berjalan dibelakangnya.

Krist yang berdiri di ambang pintu UGD mengedarkan pandangan, mencari adik satu-satunya.

"Phi Krist!" Itu suara Fiat yang duduk di salah satu bangku di depan ruang UGD, tangan kanannya melambai, sedangkan tangan kirinya terpasang alat bantu untuk menyangga. Menemukan posisi si adik, membuat langkahnya semakin lebar ke arah pemuda itu.

Krist terlihat melebarkan mata, kemudian mengerutkan kening begitu selesai memindai adiknya. Ia hendak berkomentar, namun Singto mendahului. "Apa yang terjadi? Kenapa bisa kecelakaan?"

"Eum! Itu... Aku di bonceng Yon, lalu ada kendaraan dari belakang menubruk kami. Sepertinya orang mabuk."

"Apa ada luka lain? Selain ini?" Singto lagi-lagi bertanya, bahkan ia menunjuk tangan Fiat yang di perban, mendahului Krist.

Fist menggelengkan kepala, "Maaf membuat phi harus datang. Pasti phi sibuk?"

"Dia tidak sibuk. Hanya sedang makan denganku tadi. Aku yang menahannya pulang. Maaf yaa..." Ujar Singto menjawab, membuat Krist ingin memaki karena terus di dahului.

"Auw syukurlah... Aku takut mengganggu kesibukan phi, tapi pak polisi disana meminta waliku untuk hadir." Mendengar ucapan Fiat, kini ia mengerti kenapa Singto mendahului ucapannya sedari tadi. Jika ia yang menjawab, mungkin Fiat akan kecewa.

Singto menoleh ke arah dua orang polisi yang tengah bicara dengan seorang dokter.

"Kau disini saja, aku yang akan bicara dengan mereka." Ujar Singto sembari menepuk bahu Krist, ia berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban.

"Phi Sing orang yang baik." Ujar Fiat, membuat Krist menyunggingkan salah satu ujung bibirnya.

"Jangan menilai orang hanya karena sekali dua kali bertemu."

"Kami sering bertemu kok" jawab Fiat, membuat Krist yang sebelumnya menatap punggung Singto yang menjauh itu menoleh ke pemuda yang tengah duduk didepannya.  Rambutnya yang bergelombang, mata bulatnya, benar-benar mirip dengan dirinya sendiri.

"Benarkah?" Tanya Krist sembari menyisir lembut surai hitam milik si muda.

Fiat mengangguk, "Setelah phi pergi kesini, Phi Sing datang ke rumah beberapa kali. Bahkan ia membantuku pulang pergi ke universitas, untuk proses pindah."

"Oh ya? Kenapa kamu tidak cerita?"

Fiat mengerutkan kening,"Phi tak pernah bertanya. Lagi pula, Phi Sing hanya sekali bertanya tentangmu phi."

"Tanya apa?"

"Dimana tempat tinggal phi sekarang."

"Lalu?"

"Aku memberitahunya, waktu itu. Bukankah phi Sing menemuimu?"

Krist menggelengkan kepala cepat.

Fiat mengerutkan kening, lalu mengendikkan bahu tak mengerti dan sepertinya lebih baik tidak mengerti.

Krist kini beralih mengamati Singto yang masih sibuk berbicara dengan polisi dan dokter disana. Entah apa yang di bicarakan, karena sesekali Singto terlihat tidak suka, namun detik berikutnya ia tersenyum seolah baik-baik saja.
.
.

Fiat dan temannya bisa langsung pulang, namun satu minggu lagi mereka wajib melakukan kontrol. Pihak si penabrak juga sudah memohon maaf atas kelalaiannya, mereka juga menyanggupi untuk bertanggung jawab.  Polisi dan dokter menjadi saksi atas keputusan pihak si penabrak.

Krist tidak menuntut lebih, karena ia lihat, seepertinya si adik ini baik-baik saja, dan yaaa hanya keseleo.

Fiat dan Krist di antar pulang oleh Singto malam itu. Ia juga memaksa untuk menginap, menemani fiat yang mungkin akan mulai merasa sakit-sakit pada tubuhnya tengah malam nanti atau mungkin besok paginya.

Krist sudah mencoba menolak, namun ia menyerah karena Fiat lebih membela lelaki itu.

"Aku akan tidur di kamar Fiat." Ujar Singto membuat Krist menghela nafas kasar sebelum pergi meninggalkan tempat.

Malam itu, Fiat beberapa kali mengigau dan tampak resah. Namun, dengan telaten Singo merawatnya, mengusap tangan anak itu, membisikkan kata penenang bahwa semua baik-baik saja. Dan dalam diam, Krist memperhatikannya. Ia berdiri tidak cukup lama di ambang pintu, memperhatikan cara lelaki asing baginya itu yang tengah mencoba menenangkan si adik.
.
.
.
.

.T.E.B.E.C.E.H.

You Are My Future (SK) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang