1. Nana, Kamu Datang?

25 1 0
                                    

Hari ini tepat dua bulan Shandy meninggalkannya. Kenangan dan memori bersama laki-laki itu tidak akan pernah luntur dari lubuk hati Nara.

Untuk itu, sore nanti ia putuskan untuk pergi ke pemakaman umum untuk sedikit mengobati rasa rindu pada sosok itu meski hanya dengan menatap batu nisannya saja.

Banyak kisah yang telah Nara persiapkan untuk bercerita dengan Shandy nanti, serta banyak doa yang akan ia rapalkan untuk ketenangan kekasihnya di alam sana.

Istirahat pertama sebentar lagi akan berakhir, namun gadis itu masih di sana. Duduk dengan rapi di sebuah bangku taman yang menjadi tempat singgah mereka ketika istirahat dulu.

Ini adalah tempat favorit Shandy, katanya taman yang teduh dan sepi ini bisa membangun aura positif. Masih ingat pula wajah lucu Shandy saat itu yang terus mengomelinya untuk tetap semangat bak emak-emak.

Jadi orang jangan naif-naif, mereka mukul sekali balas tiga kali, mereka ngehina balas rosting dua kali lipat, lo nggak harus takut dan tertekan sama orang-orang sampah seperti mereka.

Nara tersenyum samar, andai saja waktu itu ia bisa mendekap Shandy lebih lama lagi, pasti tidak akan seperti ini akhirnya. Kadang takdir memang terlalu kejam untuk mempermainkan manusia.

Saat gadis itu tengah tenggelam dalam lamunannya, sebuah suara menginterupsinya dari belakang membuat Nara lantas menoleh.

"Lo budeg? Udah bel, masuk kelas gih."

Nara memanyunkan bibir, "pengen bolos kelas aja gue."

Sontak perkataan Nara membuat cowok itu mendekat lalu menjitak kepalanya pelan. "Lo mau bandel? Entar gue dimarahin Shandy dari sono."

Nara meringis, benar juga. Ia tidak boleh terus-terusan terpuruk seperti ini, pasti Shandy juga tidak menyukainya.

"Repot juga gue jadi temen Shandy, harus dititipin cewek cengeng kayak lo," celoteh Ali.

Nara mencebikkan bibirnya kesal, "lagian siapa juga yang mau dititipin ke cowok rese kayak lo!"

"Tau tuh si Shandy. Nggak mati nggak hidup kerjaannya nyusahin orang," keluh cowok berbadan tinggi tegap itu.

Nara langsung mempelototi Ali, "lo hina pacar gue? Awas aja nanti gue aduin lo," ancamnya.

"Nggak takut tuh gue. Sekarang dia bisa apa emang?" Ali menatap Nara sambil mengangkat dagunya.

Nara menunduk, perkataan Ali selalu membuatnya merasa sesak dan seakan tidak terima dengan kepergian Shandy. Seringkali saat berbincang dengan Ali mengenai Shandy, ia seolah merasa bahwa laki-laki itu masih hidup.

Ia merasa sosok Shandy masih terus bersama dengannya, bahkan kadang ia lupa menunggu Shandy di depan gerbang saat pulang sekolah, karena biasanya laki-laki itu selalu mengantarnya pulang.

"Ra, lo kerasukan arwah Shandy ya?" Ali melihat tatapan Nara kembali kosong. Sial, beginilah akibat terlalu bucin.

Nara menatap Ali dengan mata berair, "kalo iya kenapa? Biar gue bisa sama Shandy terus."

Ali bergidik lalu mengusap lengannya, "creepy lo anjir. Dah lah gue mau cabut kelas, lo nggak ikut juga terserah."

"Emang terserah gue, cabut aja sana!"

"Awas ada hantu Shandy."

"Nggak takut," ejek Nara, "lagian jadi hantu pun pasti tetep gans pacar gue."

"Dih! Belum tau dia, Shandy banyak dosanya jadi kalau menjelma jadi hantu pasti jadi wujud yang paling serem."

Nara ingin sekali mencabik-cabik mulut cowok itu sekarang juga. Selalu saja mengolok-olok pacarnya saat masih ada maupun sudah tiada. Kalau hari ini Shandy masih ada pasti mereka akan terus bertengkar setiap hari, padahal mereka berdua adalah teman sejak kecil tapi tidak pernah akur.

Tak berselang lama setelah kepergiaan Ali, akhirnya gadis itu pun memutuskan untuk kembali ke kelas.

_____


"Ra, pinjem pulpen dong, pulpen gue ilang nih," Rinca menoel-noel bahu Nara di sampingnya.

Selalu saja si rica-rica meminjam pulpennya, dan ujung-ujungnya nanti pasti tidak akan dikembalikan. Katanya hilanglah, sedekah lah, membuat Nara lama-lama malas mengunjungi koperasi sekolah tiap paginya. Pasti kalian punya kan teman modelan Rinca, bilang pinjam padahal diam-diam dikoleksi.

Nara berdecak pelan, "pinjem aja terus tiap hari, lama-lama bangkrut gue tiap hari harus beli pulpen dua."

Rinca tersenyum lebar, selebar kesabaran Nara terhadap kelakuannya. "Maacih sayangkuuu..."

"Setiap pulpen yang lo pinjem dan nggak lo balikin gue catet sebagai utang asal lo tau," kata Nara dengan gaya ala-ala rentenir.

Rinca melotot, bisa-bisanya sahabatnya peritungan seperti ini, "heh Samsil."

"Samsul," koreksi Nara.

"Samsul, lo pikir lo tiap hari makan di kantin pake duit siapa? Andai aja semua gue total, lo nggak akan mampu bayar," tutur Rinca.

Nara mengibaskan rambutnya ke belakang, "berapa sih emangnya? Biar nanti gue bilang ke bapak gue buat lunasin."

Rinca terkekeh, "aelah, pulpen doang nggak bikin lo kismin kok." Alibinya, ia takut nanti Nara akan meminta kembali semua pulpennya.

Nara lebih memilih menulikan pendengaranya dan kembali fokus mengerjakan soal.

"Gravindo? Sudah selesai?"

Suara Bu Ismi menarik atensi seluruh kelas. Melihat seorang siswa yang maju ke meja guru sambil membawa buku tugas, membuat jiwa ambis Nara terbakar. Bisa-bisanya ia kalah cepat mengerjakan soal dengan murid yang baru dua hari bersekolah itu.

Seolah mengerti dengan suasana hati Nara, Rinca menyenggol lengan Nara, "kok pinter juga ya dia?"

Nara mendegus samar. "Nggak tau."

Rinca berdecak, "lo bilang aja iri karena kalah gesit. Btw dua hari sekelas sama dia, kok suasana kelas kita jadi kek dingin gitu ya? Berasa lagi berada di dunia frozen."

"Ganteng sih, banget malah. Tapi kok dingin banget, sampe bikin gue menggigil gini. Kemarin juga sempet gue sapa tapi doi malah buang muka," lanjut Rinca.

"Lo jelek kali," jawab Nara dengan tangan terus menulis jawaban.

Rinca menggeleng pelan, "gue cantik, dia aja yang beku. Cowok mana sih yang nggak mau sama gue? Bahkan Ali pun sampai sekarang masih suka kejar-kejar gue."

Nara hampir terbahak karena kepercayaan diri Rinca yang menembus dunia frozen, "serah lo lah, gue mau ngumpulin tugas."

Rinca mendelik, bergegas menahan tangan Nara, "join jawaban njir, gue belum nulis satu pun," desaknya.

Nara mengedikkan bahu, "derita lo, ngomong terus dari tadi."

Setelah membiarkan Rinca memfoto jawabannya, Nara menuju meja guru untuk menumpuk tugasnya. Walaupun Rinca semenyebalkan itu, tapi mana tega Nara membiarkan gadis itu linglung karena tidak mendapat contekan. Yah, meskipun tindakannya ini tidak baik sih.


_____



Sepulang sekolah Nara benar-benar datang ke tempat pemakaman umum sambil membawa sebungkus kelopak bunga mawar untuk ia taburkan di tempat damai Shandy.

Ketika langkah gadis itu mulai terasa berat saat menuju tempat Shandy, tatapannya langsung terpaku pada seseorang yang berjongkok di sebelah makam Shandy.

Dengan cepat Nara berjalan ke sana, memastikan siapa orang itu. Tepat saat langkahnya sampai, ia terkejut mendapati ternyata itu adalah teman sekelasnya.

Cowok itu mendongak menatap Nara dengan seulas senyum, "Nana? Kamu datang?"






GRANARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang