8. Melupakan

13 1 0
                                    


Apa ada yang nungguin chapter ini? Someone?
Nggak ada ya? It's okey..
:)





________

"Nggak perlu." Nara menarik tangan Gravindo.

Laki-laki itu menoleh, menatap wajah sembab gadisnya, "biarin gue hukum mereka."

Nara sekali lagi menggeleng, "terimakasih atas bantuannya tapi nggak perlu memaksa mereka."

Laki-laki itu akhirnya melunak.

Melihat tatapan para cowok yang kini mengarah ke Nara, lantas membuat gadis itu tersadar dan segera memeluk dirinya. Pakaiannya basah akibat kuah itu, dan sekarang dalaman gadis itu nyaris terlihat seluruhnya.

Melihat Nara yang risih dengan tatapan para cowok sialan itu, Gravindo segera membuka kemejanya tanpa aba-aba.

Sontak beberapa siswi langsung memekik kegirangan. Bagaimana tidak, perut kotak-kotak serta badan atletis cowok itu kini menjadi santapan publik. Tatapan lapar dari para siswi seakan memperjelas isi pikiran mereka.

"Lo ngapain?" cicit Nara gugup. Apakah pemandangan ini hadiah dari langit untuknya? Padahal selama ini ia hanya bisa melihat roti sobek itu dari layar handphone.

"ASTAGA! NIKMAT!"

Pekik Rinca yang baru datang bersama Ali. Cewek itu mengerjap-ngerjapkan matanya ketika tubuh atletis Gravindo ter-ekspose. Lalu pandangannya terlempar pada Nara.

"Lo kenapa Ra? Basah-basahan kek gitu? Ini Gravindo-kuh, juga kenapa umbar aurat? Ini lagi buat konten prank ya? "

Gravindo sama sekali tidak menghiraukan ocehan orang asing itu, membuat Rinca mencebikkan bibirnya kesal, "dasar patung."

"Pakai," laki-laki itu menyelimuti Nara dengan kemeja putihnya.

"Tap--"

"Diam," akhirnya dengan berat hati Nara menurut saja. Toh, tidak ada pilihan lain selain ini.

Setelah memberikan kemejanya pada Nara, Franz lalu merampas hoodie hitam yang dikenakan Tomo. Tidak lucu juga kan kalau ia berkeliaran di sekolah dengan topless.

Tomo pun dengan senang hati melepas hoodienya lalu meminjamkannya pada Franz. Ingat, meminjamkan. Nanti sepulamg sekolah ia akan meminta hoodienya kembali.

Setelah mengenakannya, Franz beralih menarik pelan tangan Nara, membawanya melangkah pergi dari kantin tanpa perlawanan dari gadis itu. Meninggalkan penonton yang masih terdiam dengan tampang cengo.

"Mon maap otak gue masih nge-lag, bisa tolong dijelaskan bang Tomo?" Rinca celingak-celinguk. Bingung sendiri dengan situsi abnormal ini.

Ali menempeleng pelan kepala gadis itu, "makanya otak itu direparasi."

"Yang nggak punya sel otak diam!"


___________





"Lepasin tangan gue!"

Langkah Franz terhenti. Menatap Nara bingung, "kenapa?"

"Lo mau bawa gue kemana? Dan kenapa tadi lo nolongin gue? Apa karena lo juga ikut-ikutan iba sama nasib gue sama seperti mereka?"

Franz tetap pada posisinya, tatapannya semakin dalam, "gue nggak paham sama apa yang lo omongin. Gue lakuin atas dasar kemanusiaan, dan gue nggak peduli sama nasib atau apapun tentang lo."

"Jadi diam, dan nurut aja," lanjutnya.

Nara menepis tangan Franz yang hendak kembali menariknya, "l-lo nggak berhak pegang tangan gue. Gue udah punya pacar."

Franz berdecih, pacar apanya? Bahkan setelah mereka melukai hati gadis itu, Nara masih menganggapnya pacar. Entah itu berita baik atau buruk, Franz tidak tau.

"Lupain."

"Hah?"

Franz kembali menarik tangan Nara, namun kali ini secara paksa, "lupain pacar lo. Udah mati juga kan?"

Merasa sikap cowok itu semakin kurang ajar, tangan Nara yang bebas melayang. Menampar pipi cowok itu.

"Lo?!" Franz menggeram. Ingin marah, namun ia tahan sebisa mungkin. Ingat, Nara adalah gadisnya yang harus ia lindungi, meskipun jika Tuhan tidak memberikan izin kepada Nara untuk mengetahui bahwa ia masih disini, ia akan tetap dan tetap melindungi gadis itu apapun yang terjadi.

Ia memejam sebentar, "liat diri lo! Lo ingin dipermalukan lagi didepan mereka? Huh!" Marah Franz.

Terdengar isakan kecil dari bibir Nara, membuat Franz semakin merasa bersalah.

"Kenapa lo nangis?" Dalam sekejap emosi laki-laki itu berubah drastis. "Maaf, gue salah."

Nara menggeleng, tubuhnya menegang tatkala merasakan usapan lembut di pipinya.

Cowok itu menyeka air mata yang membasahi pipi gadisnya. "Gue cuma mau lindungin lo," ucapnya lagi.

Nara mengeratkan kemeja cowok itu pada tubuhnya, kini isakannya terdengar semakin keras. Mau tidak mau, Franz harus membawanya menjauh dari tatapan siswa-siswi lainnya.

"Ikut gue, tenang aja gue janji nggak akan ngapain-ngapain lo." Cekalan kasar pada pergelangan Nara kini mulai melembut. "Maaf juga, pasti tadi tangan lo sakit ya?"


_______




GRANARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang