Setelah tiga hari izin dari sekolah, hari ini Nara bisa dapat kembali bersekolah. Ia menampilkan wajahnya yang berseri-seri.
"Senyum terus, ada apa nih?" Rinca bertanya dengan wajah keponya.
"Ada deh."
"Ish! Apaan? Lo ditembak lagi sama cowok?"
Nara menggeleng, "bukan."
"Lah terus?"
Senyum gadis itu kian memancar, "hari ini...bunda ajak gue ketemu!"
Senyum Rinca sedikit pudar, terbesit sedikit rasa kasihan pada sahabatnya itu. Jelas saja, Nara harus sangat bersabar bahkan untuk bertemu dengan bundanya sendiri.
Rinca memaksakan senyumnya, "wahh! Karena hari ini lo seneng jadi lo harus gantian traktir gue."
"Siap." Nara mengacungkan jempolnya.
"Punya lo."
Senyum keduanya langsung lenyap ketika sosok ber-aura dingin itu tiba-tiba datang sambil menyodorkan sebuah gantungan kunci.
Nara mengerutkan kening, kemudian mengecek ranselnya. Dan benar, gantungannya hilang.
"Kok bisa ada sama lo?"
"Pemakaman," jawab laki-laki itu singkat.
Nara ber-oh, kemudian mengambil gantungan yang disodorkan padanya.
Setelahnya Gravindo menuju tempat duduknya dan mulai mengeluarkan buku-buku pelajarannya.
Rinca berdecak kagum tatkala ekor matanya mengikuti gerak gerik cowok itu, "cowok pinter emang beda ya, yang lain lagi ghibah, ribut, ngonten, dia malah belajar."
"Mirip Shandy," tanpa sadar kalimat itu lolos begitu saja dari bibir Nara.
Rinca memutar bola matanya, "dia lagi dia lagi. Sebucin itukah lo sama Shandy? Padahal jelas-jelas dia aja pernah selingkuhin lo."
"Kan dia udah minta maaf Ca."
"Ya tetep aja, dan akhirnya dia kena adzab, sekarang nangis tuh dibawah tanah," kelakar Rinca menggebu-nggebu.
"Ca!" peringat Nara akan ucapan sahabatnya yang keterlaluan.
Rinca langsung membuang muka.
"Kasihan, jangan ungkit-ungkit keburukan dia lagi," nasihat Nara. "Kita semua juga pasti pernah ngelakuin kesalahan Ca, lo nggak bisa melabeli kalau seseorang itu jahat hanya karena satu kesalahan yang pernah ia perbuat."
"Iya-iya, maafin gue," sesal Rinca, kemudian teringat akan menanyakan sesuatu. "Oiya, btw lo ketemu Grav di pemakaman?"
Nara mengangguk, "iya. Kemarin gue juga sempet kaget liat dia duduk disamping makam Shandy."
Bola mata Rinca nyaris copot. "What?! Jadi dia kenal Shandy? Gila! Cogan temenannya juga sama cogan ya."
"Temen TK sih katanya, gue juga baru tau. Sebelumnya Shandy nggak pernah cerita apapun tentang temen-temen dia selain Ali, Randu, Nino sama Tomo."
Mendengar namanya disebut-sebut, membuat Gravindo sedikit penasaran dengan apa yang dibicarakan kedua gadis itu. Ia membuka telinganya lebar-lebar, jelas pasti ada sesuatu yang salah pada dirinya.
"Apa gue jelek ya?" Gumamnya.
_____
Gravindo kembali merasakan perasaan aneh ketika melihat aksi bullying didepan matanya. Mengingatkannya pada sekolah SMA lamanya.
Disana terlihat Sinta dan para dayang-dayangnya tengah mengapit Diyana. Menumpahkan satu saus penuh ke dalam mangkuk bakso gadis itu lalu Sinta memaksa Diyana agar membuka mulutnya.
Diyana berontak ketika Sinta memasukkam sesendok demi sesendok kuah bercampur genangan saos itu. Namun tenaganya tak cukup karena dua orang yang masih mengapitnya.
Seluruh pemilik pasang mata hanya mampu terdiam. Tidak ingin mengambil resiko jika harus berurusan dengan putri sang pemilik yayasan.
Sejujurnya Gravindo merasa iba. Tapi perasaan was-was itu kembali muncul. Traumanya masih menghantui, meskipun ia tau kalau ia bertindak sekarang tidak akan ada yang berani menentangnya lantaran statusnya adalah seorang putra dari donatur terbesar yayasan.
"Berhenti!"
Nara langsung menarik atensi seluruh pasang mata yang berada di sana.
Sinta menoleh, mendapati musuh bebuyutannya emosinya kian memuncak. Ia terkekeh, tangannya mengambil semangkuk bakso milik Diyana dan langsung menyiramkannya pada Nara.
Sinta tertawa, lalu beralih menatap Diyana yang masih terisak, "ucapin terimakasih gih ke Nara. Dia udah nyelametin lo."
Diyana menatap Nara prihatin. Bibirnya kelu untuk mengucapkan kata 'maaf'.

KAMU SEDANG MEMBACA
GRANARA
Novela Juvenil[ gue hidup, Nara! Gue akan selalu disamping lo ] #1Des2021#