4

12 6 1
                                    

"Kenapa?" Singkat Rafa, "duduk dulu kaliii, tiba-tiba malah tanya kenapa, huh," jawab Friska, "udah pesen?" Tanya Rafa, "udahhh. Kamu mau pesen dulu? Tapi aku udah pesenin buat kamu kayak biasanya," jawab Friska , "oh, yaudah bagus. Kenapa? Apa yang penting?" Tanya Rafa, "kamu katanya capek, ya? Mau sendiri 'kan? Mungkin iya aku salah, terlalu maksain hubungan kita. Apalagi kita udah berumur, enggak mungkin pertahanin sampai pernikahan kayak gini terus. Tapi kamu serius matang-matang kalau pisah sama aku?" Jelas Friska, Rafa sedikit kaget dengan penjelasan yang Friska jabarkan, ia tidak berekspetasi kalau yang dibahas adalah permintaannya sedari dulu, "serius, gue udah capek yang harus tetap sama lo. Gue selalu bilang, gue udah engga ada perasaan satu persen atau setitik debu untuk lo, tapi lo kekeuh dengan pendirian lo. Bahkan lo juga tetap ada saat gue enggak balas bahkan menghilang selama setahun. Apa, sih, yang lo pikirin?" Tanya Rafa, "sugesti. Dari kita pertama ketemu dan pacaran, aku punya firasat dan sugesti kalau kita bakal terus bareng-bareng, seharusnya enggak begitukan?" Balik tanya, "ya. Jadi intinya sekarang kita putus. Enggak ada alasan apapun untuk kembali juga. Ngerti?" Ketus Rafa, "oke, aku udah terima semua juga. Mungkin lebih baik kayak sekarang. Meski aku berat banget. Karena aku yakin kita masih bisa bertahan, tapi semua orang memandang sebaliknya dan terus menyalahkan sugestiku yang aku percayakan." Jelas Friska, Rafa mengangguk sambil meneguk minumannya yang sudah datang beberapa menit lalu.

"Belum bayar 'kan?" Tanya Rafa, Friska menggeleng. "Oke, pulang aja. Gue yang bayar, hati-hati." Ucap Rafa, Friska mengangguk dan jalan menuju keluar kafe.

'Oh, ini yang gue rasain selama kerja? Perasaan enggak enak karena kita pisah? Harusnya gue enggak punya perasaan begini, kan?' Tanya Rafa dalam hati, 'masih baru hangat putusnya, mungkin karena kelamaan pacaran jadinya agak kaget. Harusnya biasa saja. Besok kali, ya, udah normal lagi.' Batin Rafa sambil menapak kakinya keluar kafe.

-----

"Fris? Sorry lancang, gue Ikrar." - Ikrar Ardhimas Saputro.

'Hah?' Kejut Friska dalam hati.

"Ya? Gapapa, tapi dapat darimana kontak gue?" Tanya Friska.

"Azriel. Is it ok? If you're anxious, you can block me." Jawab Ikrar.

"Gak, santai. Kaget aja. Kenapa tiba-tiba chat?" Tanya Friska

"Sibuk? Ke angkringan deket Pos 10, yuk? Banyak sama temen-temen gue kok, enggak berdua. Tau 'kan siapa aja? Masih sama temen tongkrongan gue." Ajak Ikrar.

"Oke, santai. Gue juga baru aja selesai urusan." Jawab Friska.

"Udah izin rafa?" Pasti Ikrar.

"Udah putus." Jawab Friska.

"Lho? Kok bisa?" Tanya Ikrar.

"Kalau ada waktu aja bahasnya. Gue malas bahas itu. Gue jalan ke sana, ya." Jawab Friska.

"Oke, hati-hati." Balas Ikrar.

-----

"Zriel, Friska putus sejak kapan?" Tanya Ikrar, "lah, mana gue tau. Kemarin gue ketemu juga masih pacaran, kok tiba-tiba putus?" Balik tanyanya, "lah, berarti baru putus dong?" Tanya Ikrar, "emang gue bapaknya? Mana gue tau anjir. Masih peduli lo sama Friska?" Tanya Azriel, "mungkin?" Jawab Ikrar ragu, "santai, emang lo cinta mati sama Friska. Ceweknya yang rada aneh." Ucap Azriel, Ikrar hanya melamun.

'Kalau gue balik sama Friska, apa bisa?' Batin Ikrar.

Erat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang