27

51 7 119
                                    

Begitu mobil Virgie berhenti tak jauh dari mobil Imran, Dinda segera turun."Terima kasih ya, Vir." Tak lupa Dinda berterima kasih. Lantas ia menghampiri Imran yang berdiri di samping mobilnya.

Melihat Dinda yang menyebarangi jalan Imran menegakkan tubuh hendak menyongsong kehadiran istrinya. "Maaf aku terlambat, tadi aku masih antri untuk membayar," ucap Dinda

Imran mengabaikan kebohongan Dinda karena fokus pada bercak merah di leher Dinda. Imran mengangkat dagu Dinda untuk memastikan bercak apa itu? Hati Imran terasa hancur seketika, bagai gelas yang dibanting . Imran membasahi tenggorokannya dengan salivanya agar ia bisa berfikir tenang. "Ada apa, Mas?" tanya Dinda naif.

"Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin melihat bercak merah di lehermu...." Belum selesai Imran berbicara Dinda segera menepis tangan Imran dan melangkah menuju spion mobil Imran untuk melihat tanda yang dimaksud. Dinda tidak sepolos anak SD yang tidak tahu tanda apa yang ada di lehernya itu? Dinda yakin itu bekas bibir Rizky.

"Mungkin digigit serangga. Ayo masuk mobil! Ada minyak gosok di dalam." Imran malah menutupi kebenaranya. Dinda nampak salah tingkah, namun ia menuruti ucapan Imran untuk masuk ke mobil.

Imran mengeluarkan minyak gosok dari laci dashboardnya. "Sini biar kuoleskan!" ucap Imran, seraya mendekati Dinda, dan mengangkat dagu Dinda untuk mengoleskan minyak gosok ke leher Dinda, tanpa peduli rasa bingung bercampur gugup yang menguasai Dinda.

Dalam hatinya Dinda merutuk Rizky, Zayn, atau Virgie yang tidak memberi tahunya soal bercak merah itu, apa iya mereka tidak melihatnya jika Imran saja bisa melihatnya?

Sedang Imran merutuk kelancangan adiknya. Sungguh, Rizky sudah  melampaui batasannya. Baiklah Ky, kita buktikan ... siapa yang akan memiliki Dinda di ending kisah ini nanti? batin Imran menahan kobaran api cemburu.

Melupakan tentang kelancangan Rizky, dan juga kebohongan Dinda, Imran membawa Dinda ke sebuah cafe. "Malam ini kita makannya agak malam, ya? Kita nikmati dulu suasana di cafe ini!" Ucap Imran, seraya menuntun Dinda memasuki sebuah cafe yang bernuansa klasik.

"Selamat sore, Pak Imran," sapa reseptionis cafe.

"Sore," jawab Imran tersenyum ramah, Dinda nampak aneh melihat resepsionis cafe mengenali Imran.

Imran menuntun Dinda untuk duduk di salah satu kursi. "Cafe ini salah satu aset bisnisku. Aku menjalankannya bersama temanku." ucap Imran tanpa sadar menjawab pertanyaan batin Dinda tadi.

Tak lama kemudian seorang pria berwajah tampan, dan memiliki lesung pipi yang membuat pria itu semakin manis saat tersenyum menyapa Imran. "Sudah datang kau?"

"Hai Max!" sapa Imran."Kenalkan, ini istriku!"

Pria yang dipanggil 'Max' itu segera mengulurkan tangannya pada Dinda. "Maxime."

"Dinda," saut Dinda seraya menyambut uluran tangan Maxime.

"live musiknya baru jam 7 dimulai, lebih baik kau ke galeri sekarang saja!" ucap Maxime.

Dinda penasaran dengan maksud ucapan Maxime, namun ia harus menyimpan rasa penasarannya karena Imran sudah bangkit, dan mengulurkan tangan ke arahnya. Tanpa mengerti apa tujuan Imran, Dinda menggapai tangan Imran, dan bangkit dari duduknya. "Aku ke galeri dulu, Max!" pamit Imran.

"Oke!" saut Maxime sembari mengangkat ibu jarinya, dan tersenyum sangat indah.

Imran membuka sebuah pintu jati  berukuran cukup lebar dengan ukiran yang sangat indah. 1 langkah kaki Dinda melewati pintu jati itu ia terpaku karena melihat keindahan ruangan di balik pintu jati tadi.

Ia seperti masuk ke dunia lain. Ruangan itu menyerupai sebuah hutan lindung yang asri. Di salah satu sudut yang entah berapa meter dari posisi Dinda berdiri terdapat sebuah sungai buatan lengkap dengan jembatan dan air terjun. Tentu terdapat beberapa replika pohon di sana. Dinda semakin takjub karena adanya banyak lukisan tertempel di dinding- dinding yang dilapisi wallpaper bergambar kayu. Di salah satu sudut ada area yang dilingkari pagar putih dan terdapat peralatan untuk melukis di sana.

Mengikuti TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang