sering diusik.

12 3 0
                                    


🌸

Setelah latihan di sanggar seni, Una membereskan barang-barangnya. Tapi omongan-omongan yang terdengar di sekitarnya sedikit mengusik telinganya. Sebenarnya Una mengabaikan itu, tapi bagaimana pun itu omongan tentangnya, ia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan. Beberapa kata terdengar jelas masuk ke telinganya walaupun ia tidak terlalu mendengarkan.

"Paling dia sih yang kegatelan sama kak Abi. Kak Abi mana maulah sama dia," itulah beberapa kata yang terdengar dengan jelas di telinga Una.

Memang setelah Una semakin dekat dengan Abi, semakin banyak juga orang-orang yang mengusiknya dengan kata-kata, namun ini bukan pertama kalinya. Bahkan bukan hanya tentang kedekatan dirinya dengan Abi saja yang dibicarakan dalam konotasi negatif oleh orang-orang, tentang bakat dan juga nilai-nilainya yang tinggi juga sering dibicarakan. Kalau tadi dibicarakan dengan baik itu tidak masalah, tapi justru dengan maksud tidak baik. Itu semua coba diabaikan oleh Una hingga ia merasa itu hal yang biasa—ia terbiasa dengan usikan dari orang-orang—dan hanya sesekali ditanggapi seadanya saja.

"Na, lo caper ya sama kak Abi?" pertanyaan itu diucapkan disaat Una sudah selesai berberes.

Una memakai tasnya dan berdiri menghadap ke orang-orang yang sedaritadi membicarakannya. "Gak boleh junior caper ke senior?" ia balik bertanya, tapi tidak dengan nada kesal dan tanpa ekspresi wajah marah juga, hanya seperti biasa dirinya saja.

"Kurang perhatian banget ya lo!" cibir orang yang lainnya.

"Mulut lo tu yang kurang perhatian! Perhatiin dulu mulut lo yang suka ngusik kehidupan orang lain, kurang kerjaan banget ya lo ngusik kehidupan orang lain. Kurang rame hidup lo?" suara seorang perempuan yang muncul dari arah belakang Una menginterupsi cibiran yang diberikan untuk Una, nada suaranya terdengar galak. Una terkesiap melihat siapa yang muncul, begitu juga segerombolan orang yang mengusik Una.

"Kak Wendy..." panggil Una dengan pelan.

"Kasian banget ya orang tua lo pada, ngebiayain anaknya kuliah mahal-mahal supaya pinter eh malah otaknya dipake untuk mikirin hidup orang lain. Pinter gak, bego iya! Bubar deh lo, ganggu keindahan sanggar seni aja!" Wendy terang-terangan mengusir segerombolan orang tersebut dengan galak, tanpa ada rasa takut sedikit pun.

Dan berhasil. Kegalakan Wendy membuat nyali segerombolan orang tersebut menciut, mereka benar-benar pergi dan membuat sanggar seni mejadi sepi. Kini hanya tinggal Una yang melihat takjub kepada Wendy, ini pertama kalinya ada orang yang membelanya, dan orang tersebut adalah Wendy—senior perempuan yang sering ia puji bakat dan kecantikannya.

Wendy agak tersentak saat menoleh ke arah Una dan mendapati Una yang sedang menatapnya dengan takjub. "Kenapa lo liatin gue kayak gitu? Suka lo sama gue?"

"Iya kak," jawab Una singkat tapi matanya masih menunjukkan ketakjuban.

"Ih, gue masih normal!" Wendy bergidik.

Una tertawa. "Suka kan universal kak."

"Oh iya juga," Wendy menormalkan kembali ekspresinya. Namun detik selanjutnya dia mengomel kepada Una, tapi omelannya tersebut bukan hanya sekedar omelan. "Gue tu ya sering denger lo diusik kayak tadi, dari mulai gue gak tau lo siapa, tapi gak pernah gue denger lo ngelawan mereka. Kenapa gak lo lawan sih? Jangan kasi panggung orang-orang kayak gitu, mereka bakalan ngelunjak. Gue udah gak tahan aja makanya tadi ngamuk. Apalagi gue tau lo deket sama Abi, gak tahan gue dengernya."

Una tersenyum karena ia paham maksud dari omelan Wendy. Sebuah perhatian. "Kalo ngelawani mereka itu buang-buang waktu dan tenaga kak, sayang banget waktu dan tenagaku dihabiskan untuk ngelawani orang-orang gak penting kayak gitu. Waktu dan tenagaku masih bisa kuhabiskan untuk hal yang lebih berguna kak."

just ME and HERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang