Bab 3

6 1 0
                                    

"Nah, bagaimana nak? Kau sudah tak sabar ingin masuk? Mari akan kutunjukkan dimana kamarmu."

Aku berjalan mengikuti bapak ini. Bisa ditebak usianya berkisar 60 an. Dan sepertinya beliau adalah pemilik pondok ini. Seketika, aku merasa tak enak hati telah berlaku kasar terhadapnya tadi. Lihatlah, setiap ada orang yang bertemu dengan beliau mereka pasti dengan spontan menunduk dan memberi salam. Aku begitu malu jadi pusat perhatian disini. Semua orang menatapku heran. Semua orang memakai kerudung dikepalanya. Sedangkan aku? Pakaian basah terkena hujan. Rambut berantakan. Mata sembab.

"Sebentar, kau tunggu disini ya. Akan aku panggilkan seseorang untuk memberikanmu baju ganti. Nah, disini kau harus memakai kerudung dan baju Panjang."

.

Bolehkah aku menolak? Aku tak suka jika harus memakai pakaian seperti mereka semua. Baju kepanjangan dan kerudung panjang seperti orang arab aku tak mau memakainya. Kesannya seperti ibu-ibu. Aku tetap ingin seperti ini. Sangat disayangkan jika rambut indahku ini harus ditutupi. Aduh, bagaimana ini. Aku ingin kabur saja jika seperti ini.

Namun, Sebagian hati kecilku menolak. Menolak diriku untuk kabur dari pondok ini. Hati kecilku mengatakan bahwa inilah jalan yang telah Tuhan berikan kepadaku. Aku harus menggunakannya dengan sebaik mungkin. Inilah jalan yang telah Tuhan sediakan untukku menjadi lebih baik lagi.

Dan disinilah jalan hijrahku dimulai dengan beribu kisah yang dihadirkan.

.

"Mengapa kau tertawa hey"

Sosok tinggi itu heran melihatku tertawa Ketika melihat kejadian ini.

"Ya, aku hanya merasa konyol dengan diriku pada masa itu. Pada saat itu rasa-rasanya baru berapa menit berada disana, aku ingin kabur dari pondok itu. Hanya karena aku disuruh menggunakan kerudung. Tak pernah terbayangkan olehku jika aku harus memutuskan berkerudung. Apalagi jika aku mengingat betapa hina nya diriku pada masa itu. Namun, Tuhan berkata lain. Aku masih diberikan kehidupan yang layak setelah aku mengecewakannya. Oleh karena itu, pada saat itu juga aku memutuskan untuk menjemput hidayah yang telah Tuhan berikan kepadaku. Aku sungguh bersyukur. Aku menyesal telah berburuk sangka kepadanya."

.

Seperti yang diperintahkan bapak tadi. Aku menunggu. Aku memperhatikan sekitar dengan saksama. Ada banyak bangunan kecil berbentuk kotak di sepanjang jalan. Sepertinya itu adalah kelas untuk murid-murid disini belajar. Tak besar. Tapi cukup jika hanya digunakan untuk proses belajar mengajar. Di setiap sudut aku melihat ada gazebo-gazebo yang terbuat dari kayu. Ada beberapa murid yang menggunakannya untuk belajar. Jika aku perhatikan lebih saksama sepertinya murid-murid disana sedang memegang kitab suci sambil menghafalkannya. Kemudian aku berpaling ke sisi sebelahnya. Ada masjid yang cukup besar. Berada di tengah-tengah pondok ini. Posisinya sangat srategis dari arah manapun. Dan di sebelahnya lagi ada bangunan bertingkat yang lumayan banyak. Aku tak tau itu tempat apa. Tapi disana sangat banyak murid-murid yang berlalu-lalang.

"Nak, ini pakaianmu. Kau bisa mengganti pakaian didalam rumahku. Mari aku antar."

Aku berjalan mengikuti bapak ini. Beliau begitu dihormati disini. Banyak yang menyapanya sambil menunduk memberikan salam.

"Rahma, kau tolong temani dia berganti pakaian ya. Saya ada keperluan sebentar."

"Ngeh Ustad."

"Nah, kau bisa ikut dengannya."

"Terimakasih bapak." Aku menunduk sambal mengucapkan terimakasih seperti yang dilakukan mbak-mbak disampingku.

Aku menoleh ke mbak-mbak disampingku tadi dan dia menyapaku dengan ramah.

"Maaf kalo boleh tau. Mbak siapanya Ustad ya. Saya dengar tadi mbak memanggil beliau Bapak."

Aku bingung harus menjawab apa. Aku siapanya Bapak itu? Aku pun tak tau. Aku baru saja bertemu dengan Bapak itu dan dibawanya kesini.

"Hmm, aku bukan siapa-siapanya. Beliau menemukanku dan membawaku kesini."

"Ohh begitu. Nama saya Rahma, mbak. Saya salah satu santriwati di pondok ini mbak. Nama mbak sendiri siapa kalo saya boleh tau."

"Aku Aruna. Panggil saja aku Aru jika namaku terlalu panjang."

" Baiklah. Salam kenal Aru. Semoga kamu betah ya disini. Mari saya antar ke kamar."

Aku mengikuti Rahma masuk kedalam ruangan yang cukup besar.

"Nah, jadi ini adalah tempat yang menghubungkan antara rumah Ustad Hamzah dan asrama. Tempat ini tidak ada yang boleh melewatinya kecuali santriwati dan Ustazah yang punya keperluan dengan Ustad Hamzah beserta Istri beliau, yaitu Ustazah Sharah."

"Ohh jadi Bapak yang tadi itu biasanya dipanggil Ustad ya? Dan istrinya dipanggil Ustazah? Begitu kah?"

Aku dengan polosnya bertanya seperti ini ke Rahma. Hehehehe.

"Hehehe. Jadi begini Aru. Disini itu semua pengajar yang laki-laki nya dipanggil Ustad dan pengajar perempuannya dipanggil Ustadzah. Begitu Aru."

"Ohh begitu ya. Aku jadi tidak enak sama Ustad Hamzah. Aku tadi memanggilnya Bapak."

"Iya tidak apa-apa Aru. Beliau pasti memaklumkannya kok. Oiya umur kamu berapa ya? Sepertinya kita seumuran."

"Umurku 18 tahun."

"Eh maaf. Saya setahun lebih muda dibawah Aru. Saya panggil mbak Aru saja ya?"

"Tidak usah. Panggil saja Aru tidak apa-apa. Dan tolong jangan pake saya kayak formal banget gitu kalo pake saya. Pake aku saja ya."

"Iya Aru. Terimakasih ya. Tapi wajah kamu seperti masih muda sekali. MasyaAllah kamu cantik ya."

"Kamu bisa aja deh. Makasih ya. Eh aku mau nanya nih."

"Iya boleh, silahkan."

"Hmmm, kamu udah lama pake kerudung gitu? Nggak panas apa? Aku belum siap buat pake kerudung."

"Iya Aru, aku sudah dari kecil dipakaikan kerudung oleh orang tuaku. Dan aku merasa nyaman dengan memakai kerudung seperti ini."

"Ohh begitu. Wah, sudah lama juga ya kamu memakai kerudung. Bagaimana jika aku belum siap untuk memakai kerudung itu Rahma?"

"Jadi begini ya Aru. Perintah memakai kerudung itu terdapat dalam Qur'an Surah Al-Ahzab ayat 59 yang artinya, "Wahai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka! Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenali (menjadi identitas), dan karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.", Nah jadi Aru, kita sebagai muslimah diperintahkan untuk menutupi aurat kita. Agar kita lebih terjaga dan sebagai identitas kita seorang muslimah. Masalah siap tidak siap, itu urusan belakangan Aru. Yang terpenting kamu harus menutup aurat dulu. Seiring berjalannya waktu, kamu akan dengan sendirinya siap."

"Baiklah ajarkan aku untuk menutup aurat ya Rahma. Tak pernah terbesit di pikiranku bahwa aku harus memakai jilbab/kerudung itu. Malahan dulu aku anti banget sama orang-orang yang pake kerudung gitu. Karena aku hidup dilingkungan buruk yang menjudge bahwa orang seperti kalian yang pake kerudung itu sok suci."

Tiga Per TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang