04. Twenty Millions

816 153 17
                                    

Chapter 4

"Kalau lo dikasih duit dua puluh juta oleh orang yang lo benci, kira-kira bakal lo terima nggak, Dy?"

"Konteks?"

Aku dan Audy sekarang ada di restoran sushi akibat kelaparan setelah nonton film horor Indonesia yang baru rilis minggu kemarin. Nonton film horor memang selalu seru, tapi kadang kala juga bisa sangat melelahkan karena rasa tegang dan takut yang kebawa selama sisa film.

Aku memainkan sumpit pada saus mentai di atas salmon roll. Isi kepalaku sedang berpikir keras apakah aku harus menceritakan masalahku pada Audy atau tetap diam dan mengatasi ini sendiri.

Jadi, setelah ditawari uang dua puluh juta sebagai uang "tutup mulut", aku cuma bisa terdiam membisu. Jujur, aku bingung, takut, dan juga serba salah. Menerima tawaran itu akan menjadi jalan paling mudah untuk membantu Rex, tapi di satu sisi, aku merasa itu juga bukan hal yang tepat. Sorot meremehkan Lando membuatku seperti habis ditampar bolak-balik. Aku tidak mau dia berpikiran seolah aku memang dengan sengaja memorotinya.

Mau menolak tawaran itu tapi kesempatan tidak datang dua kali. Tapi menerimanya cukup membuat harga diriku tergores di depan Lando.

"Nyari duit dua puluh juta harusnya susah banget kan, ya?"

"Ya susah lah, Cit, kecuali kalau lo anak orang kaya, tinggal nadah tangan aja," balas Audy lalu menengak ocha dinginnya dengan santai.

"Lo mau kalau dikasih duit dua puluh juta oleh orang yang lo benci?"

"Alasan dia kasih duit apaan?"

"Kasih duit aja gitu."

"Tanpa alasan? Orang gila mana yang mau ngasih duit ke orang yang dia benci?"

Aku meringis. "Anggap aja begitu."

"Nggak mau. Harga diri gue nggak bisa nerima itu."

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Nggak mau hutang budi sama orang yang gue benci. Dan gue juga nggak mau tiba-tiba akur sama orang yang gue benci cuma karena duit dua puluh juta."

"Meski sebenernya lo lagi butuh dua puluh juta itu?"

Audy berekspresi songong. Bibirnya mengerucut seolah secara tidak langsung mengatakan uang dengan nilai segitu tidak seberapa. "Gue bakal cari cara lain, daripada mengandalkan orang yang gue benci untuk ngebantu gue secara cuma-cuma. Gue nggak mau dianggap menyedihkan di mata musuh gue."

Benar. Dianggap menyedihkan itu adalah perasaan paling menyedihkan di dunia. Ditambah lagi kalau dianggap menyedihkan oleh orang yang kita benci. Wah, lebih baik aku punah saja.

"Kenapa sih?"

Aku langsung menggeleng.

"Ini beneran kejadian atau berandai-andai doang dikasih duit dua puluh juta gitu aja?"

"Ngayal," kataku bohong. "Btw, gue sama Rex LDR-an lho." Daripada Audy makin kepo dan berhasil mengendus kebohonganku, lebih baik aku mengganti topik.

"Dia balik ke Bandung?"

"Enggak, dia dapet kerjaan di Tangerang."

"LDR Tangerang - Jakarta, Cit? So funny. Itu nggak bisa disebut LDR kali."

"Dia pindah kosan disana sama temennya. Dan dia kerja dari Senin sampai Jumat. Intensitas gue ketemu dia berkurang banget."

"Dia kerja?"

Aku mengangguk kemudian menyuap sushi ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan lahap.

"Kerja apa?"

"Translator di penerbit gitu."

How to Break a HeartbreakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang