ALIGAR 7

10 4 0
                                    

Hari-hari Alin berlalu begitu saja, setelah kepergian sang Papa rasanya dunia yang ia miliki hancur tidak tersisa. Hampa, cuma itu yang Ia rasakan sekarang, seakan ada lubang besar yang menganga di dadanya membuat ia jatuh kedasar terdalam.

Alin merindukan sosok itu, sosok pria yang selalu memeluknya di saat ia rapuh, sosok pria yang selalu mendukung setiap langkahnya, Alin merindukan senyum hangat yang selalu pria itu berikan padanya, Alin sungguh merindukan  Papanya.

Jika bisa Alin ingin memutar waktu, ia ingin kembali ke masa di mana Ia bisa meminta maaf dan memeluk Papanya dengan sangat erat.

Dengan keras Alin mencengkram rambutnya, ingatan tentang kebersamaan dia dengan sang Papa membuat dadanya semakin sesak, seakan ada yang mencengkramnya.

"Papa," lirih Alin dengan pipi yang di penuhi air mata.

Di sini, masih di tempat yang sama, dengan kesendirian dan di temani dinginnya malam Alin menangis lagi dan lagi merutuki semua yang tejadi, di kamar ini semua sesak yang ada didada akan tumpah ruah menyatu dengan isak tangis yang membuat semua orang ikut merasakan kepedihan gadis itu.

"Alin kangen Papa," gumam Alin dengan mata menatap lekat foto kebersamaannya dengan sang Papa.

Alin beranjak dari tempat tidurnya, mengambil benda pipi yang sengaja ia letakkan di meja belajar.

Sudah dua hari ini Ayahnya tidak menghubungi dia, ada rasa takut di hatinya,  bahkan rasa takut ini lebih besar dari biasanya.

"Kenapa Ayah gak ada kabar?" tanya Akin pada dirinya sendiri.

Alin menghapus air matanya, gadis itu duduk di samping tempat tidur tanpa alas apapun, membuatnya merasakan dingin dari lantai yang ia duduki.

Alin mulai membuka aplikasi berwarna hijau yang selalu ia gunakan dan seketika matanya membola, Alin menggeleng dengan kuat room chat yang tersemat di sana sudah berubah, tanpa sadar air mata itu jatuh lagi dari pelupuk matanya.

Tidak, bahkan ini belum genap 10 hari Papanya pergi ninggalin dia kenapa sekarang ia harus menghadapi ini. Tangan Alin gemetar saat melihat nomor Ayahnya sudah tidak bisa di hubungi lagi.

Pria itu sudah mengganti nomornya, dan meninggalkan Alin. "Ayah, ayah pernah janji enggak ninggalin Alin kenapa sekarang Ayah pergi,"

Alin meremas handpohonenya menyalurkan rasa sakit didadanya dengan kencang gadis itu melempar handphone yang ada di tangannya hingga benda itu pecah berkeping-keping. Tubuh Alin yang memang sudah lemas semakin lemas saat mengetahui Ayahnya, orang satu-satunya yang ia harapkan bisa menjadi sandaran dia kembali mencapakan dia.

Tubuh Alin bergetar, gadis itu berteriak frustasi di kamarnya, dengan tangan yang terus memukul lantai yang Ia duduki hingga berdarah.

"KENAPA! KENAPA AYAH NINGGALIN ALIN JUGA! AYAH UDAH JANJI ENGGAK AKAN NINGGALIN ALIN LAGI! AKHHHHHH!"

Alin terus meraung ditempatnya, ia melempar semua yang ada didekatnya bahkan suara dentaman keras yang berbunyi karena pintu kamar yang terbuka tidak membuat Alin berhenti menyakiti dirinya. Gadis itu benar-benar tidak bisa menerima akan semua yang terjadi, gadis itu belum siap menerimanya.

"Alin,  kamu kenapa nak? Hei! Berhenti jangan begini sayang,"

Diana yang melihat keadaan anak pertamanya  sangat kacau langsung memeluk dengan erat tubuh rapuh itu, memberikan elusan lembut dan kata-kata penenang.

"Ada apa sayang? jangan kayak gini kamu buat Mama sedih nak, kalau ada masalah kamu cerita sama Mama, ada apa?" tanya Diana masih memeluk tubuh gemetar Alin.

ALIGAR #WRITONwithCWBP Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang