Usai menenangkan Nebiru, ibu Nebiru langsung mengantarkan obat untuk tetangganya.
"Neng Vio ...." Tidak lama Violetta keluar. Dia menunggu kedatangan Nebiru daritadi, tetapi dia tidak mempunyai kontaknya sehingga tidak bisa mengetahui kabar Nebiru.
"Ini obat titipannya, Neng."
"Terima kasih, Tante. Nebirunya kemana ya, Tan?" tanya Violetta karena tidak melihat batang hidung Nebiru. Dia meminta tolong kepada Nebiru seharusnya yang memberi obat ini juga Nebiru.
Raut muka paruh baya ini seketika berubah turun. "Maaf ya, Neng. Nebirunya habis kecelakaan, tapi keadaannya katanya baik. Besok mau cek ke dokter."
Jelas Violetta terkejut, bagaimana pun itu gara-gara Violetta karena merepotinya. Nebiru pasti mengantuk saat berkendara. "Tante, maafin saya udah ngrepotin Biru buat beli obat. Tolong sampaikan ke Biru ya, Tan."
"Nggak papa, Neng. Ini musibah, niat Biru juga mau bantuin Pak Bian. Jangan merasa bersalah, Neng. Tante pergi dulu, ya ..." pamitnya.
"Iya, Tante. Terima kasih." Tiba-tiba hati Violetta cemas sekali. Demi ketenangan hatinya besok dia akan menjenguk Nebiru. Dia merasa bersalah atas kejadian tak terduga ini.
•••
Paginya Nebiru memutuskan izin sehari karena ingin pergi ke rumah sakit untuk diperiksa.
"Vio kemarin minta maaf sama bilang makasih ke ibu."
"Iya, Bu." Nebiru masih berbicara seadanya. Ibunya padahal sangat berharap Nebiru cerita apa yang membuat pikiran anaknya kacau sehingga terjadi kecelakaan, tetapi Nebiru tidak sama sekali bercerita. Ngomong saja Nebiru tidak sebanyak biasanya.
"Ibu, punggung Biru nyeri." Keluhan dari anaknya membuat ibunya tersenyum tipis sekali. Ini yang dia harapkan. Nebiru harus mengungkapkan rasa sakitnya. Jika tidak untuk orang banyak cukup ke dia saja.
"Tadi ibu lihat memar, Bang. Habis Ive berangkat sekolah kita ke rumah sakit, ya! Takutnya ada apa-apa." Nebiru hanya mengangguk.
Waktu satu tahun tidak cukup untuk menyembuhkan luka di hatinya. Dia masih sering menyendiri mengingat kebersamaan. Dia masih sering stalk sosial media mantan kekasihnya. Tidak bohong jika dia masih menyimpan rasa kepadanya. Walau hubungan pertemanan mereka tidak pernah putus, Nebiru masih tidak rela.
"Nebiru, Sasya mau ngomong."
"Mau ngomong apa Sasyayang? Kamu laper?" Nebiru tahu sekali kebiasaan Sasya jika sedang lapar atau menginginkan sesuatu. Dia akan selalu bermanja layaknya anak kecil kepada Nebiru.
Sasya tidak langsung mengucapkan apa niatnya. Dia terdiam cukup lama. Hingga Nebiru kembali berkata,"Sya, coba cerita."
"Biru, aku pengen kita putus."
Nebiru spontan menoleh ke cewek di sampingnya. Dia menatap sepenuhnya cewek itu sembari mencoba mengingat apa kesalahan yang telah dia lakukan.
"Kamu–"
"1 kalimat tadi cukup menyakitkan, Sya. Nggak perlu kamu terusin karena tetap bakal nyakitin," sela Nebiru.
Sasya mengangguk lalu perlahan melepas tautan tangan yang saling menghangatkan dinginnya malam pada saat itu.
"Aku udah matang mikirin ini, Biru. I'm sorry, we can't be together anymore."
"Kisah kita ternyata cuman sampai di sini. Aku nggak nyangka malam ini bakalan sepi, aku nggak pernah nyangka malam ini kamu ngomong begini, aku nggak pernah nyangka bukan suara kamu lagi yang terakhir aku denger sebelum terlelap. Maafin aku kalau ada salah ya, Sya. Maaf juga kalau beberapa hari ke depan aku masih sering nyebut nama kamu. Aku pulang, Sya." Kebiasaan memanggil nama satu sama lain mereka lakukan saat saling merindukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity [END]
Kurzgeschichten⚠️ Cerita serupa di wattpad maupun lapak lainnya itu plagiat. Usia Nebiru sudah menginjak kepala dua dan punya keinginan besar untuk segera menikah dengan kekasihnya, tetapi justru sang kekasih diam-diam menyusun rapi persiapan pernikahan dengan or...