Bab 28 [Adaptasi]

267 75 6
                                    

Kebangun dan enggak bisa tidur.

**Berharap ada orang yang melek juga wkwk

~~

Happy Reading

~~

"Karena kita semua akan tinggal satu atap selama kurang lebih enam bulan, maka saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik. Demi kenyamanan kita semua," kata Rifan, memimpin diskusi ringan antara rombongan guru garis depan dan tentara perbatasan. Di tengah asrama yang diterangi cahaya redup. Suara deburan ombak melengkapi diskusi mereka.

Tepat lima menit setelah apel malam, Rifan mewakili pasukannya untuk memberitahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, apa yang harus dan tidak harus dijalankan semua orang di dalam asrama. Mereka akan hidup bersama selama enam bulan. Waktu yang cukup lama. Semua orang harus saling bahu-membahu menciptakan kenyamanan, kerja sama, bahkan keamanan. Ego seseorang biasanya memang diuji ketika harus hidup bersama. Orang-orang menyebalkan biasanya mendadak muncul jika bermalam bersama, dan orang-orang yang sesungguhnya baik juga akan terlihat.

"Kita menjunjung tinggi profesionalitas, jadi saya harap tidak ada cinta lokasi di sini."

Citra yang hanya berdiri di ambang pintu kayu sambil melipat tangan di dada tertawa mendengus. Mengejek kalimat yang baru saja dilontarkan Rifan. Tidak ada cinta lokasi? Omong kosong.

"Sebelum bilang itu, kondisikan dulu pandanganmu sama pemimpin guru kita, Kapten!" sindirnya tanpa ragu.

Sadar bahwa sarkas itu ditujukan untuknya, Fiona segera angkat bicara. "Aku juga enggak tertarik sama tentara, jadi mari kita junjung tinggi profesionalitas kapten kita. Jangan ada cinta lokasi. Aku harap enggak ada cinta lokasi juga antara Kapten Rifan dan Letnan Citra."

"Sepertinya Fiona memang masih dendam," gerutu Citra samar.

"Siapa yang enggak dendam atas perlakuan kamu dulu?"

"Ada. Kalau kamu tahu yang sebenarnya."

Fiona mengangguk. "Semoga pengakuan kamu enggak bikin kita terlibat cinta lokasi."

Baru saja lima menit lalu diskusi mereka diawali dengan perkenalan. Saling melemparkan nama lengkap dan jabatan. Fiona juga menahan diri agar sabar dan berani melihat Citra yang telah merundungnya sepuluh tahun lalu. Tapi, lima menit kemudian genderang perang malah tertabuh hanya karena satu kata. Profesionalitas. Bahasannya jadi melebar ke mana-mana. Sampai kepada dendam Fiona terhadap Citra. Terlepas dari dendam, cinta lokasi dan sebagainya memang hal yang paling mengganggu. Bukan cuma kepada penglihatan para jomlo, tapi pada kenyamanan mereka yang menjalani hubungan. Cinta akan menghambat perkerjaan secara tidak langsung. Akan jauh terasa lebih baik kalau cinta itu akan selamanya ada pada rasa yang sama, bagaimana jika keduanya putus tapi masih harus bekerja dalam satu atap?

Citra termangu beberapa saat mendengar ucapan Fiona. Ia pelan-pelan mulai kembali bicara untuk menetralkan suasana, mengingat tidak ada satupun yang mau bicara lagi sementara diskusi ini harus terus berlanjut sebelum malam semakin larut. "Kita anggap semua sepakat untuk tidak ada cinta lokasi, seperti yang diminta Bapak Kapten Rifan. Kalau sampai ada yang terlibat cinta lokasi, sebaiknya kita semua menjaga sikap. Kita sudah dewasa. Bukan lagi waktunya jatuh cinta seperti anak SMA."

"Yahh ... omong-omong, pembahasan kita tentang cinta lokasi cukup sampai di sini saja." Rifan mulai berani memberi intruksi sembari melirik sinis ke arah Citra yang masih terlihat santai-santai saja di ambang pintu sementara Fiona terbakar api tanpa ada yang tahu penyebabnya kecuali mereka berdua.

HIPOTESA RASA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang