Bab 58 [Batu Intan]

187 55 4
                                    

~~

Happy Reading

~~

Bandara terlihat ramai hari itu. Banyak orang yang berlalu-lalang. Ada mereka yang tengah menunggu keberangkatan, ada yang baru tiba, dan ada pula yang sekadar datang untuk menjemput, seperti Fiona. Ia hendak menjemput Fian yang katanya akan tiba sekitar tiga puluh menit lagi. Tidak sabar menanti kekasihnya, Fiona sampai berulang kali menatap layar yang menampilkan jadwal kepergian dan kedatangan pesawat.

Arloji cokelat yang melingkar di lengan Fiona sudah jelas menunjukkan pukul dua siang, sementara Fian akan mendarat pukul dua lewat tiga puluh menit. Belum lagi para penumpang turun dari pesawat. Fiona tidak peduli. Ia tidak ingin terlambat sedetik pun.

Fiona juga sudah menyiapkan segelas Americano. Kopi kesukaan Fian yang biasa diteguk dalam kondisi suam-suam kuku, tidak terlalu panas, tidak juga dingin. Fian paling tidak suka makanan atau minuman panas, tidak juga kuat terlalu banyak menenggak minuman dingin. Lidahnya sensitif.

"Sedang menunggu penerbangan dari Singapura ya, Kak?" tanya seorang perempuan yang sejak tadi duduk di samping Fiona, "Menjemput kerabat? Atau, pacar?"

"Eh?" Fiona mengangkat alis, berpikir sebentar. Matanya melirik tangan perempuan itu, sama-sama memegangi segelas kopi amerikano yang masih panas, terlihat dari kelupan asap yang keluar dari sela sedotan, "Pacar."

Perempuan itu tersenyum manis, "Pantas saja kamu terlihat gelisah sejak tadi."

Fiona tersenyum lebar, memamerkan giginya yang rapi. Sepertinya ia memamg kelihatan sangat berlebihan. Fiona akan berusaha untuk tenang sekarang. "Um, iya. Kamu juga menunggu seseorang ya? Pacar?"

Perempuan itu mengangkat bahu, "Aku tidak terlalu yakin, tapi kami sudah dekat lebih dari dua puluh tahun," Fiona menyimak, tidak merasa terganggu mendengar cerita dari orang asing, "Dia selama ini selalu memberi banyak sekali perhatian. Aku tidak tahu apa arti perhatian itu, tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta. Aku harap aku bisa mengambil hatinya dengan menjemput dia di bandara, dan—" ia mengangkat sedikit gelas kopinya, tersenyum canggung, "—aku juga membawakan kopi kesukaannya."

Fiona ikut menatap kopi di tangan perempuan asing di sampingnya, lantas menatap gelas kopi di tangannya sendiri. Tidak tahu dari mana datangnya, tapi Fiona mendadak penasaran, "Apa dia juga datang dari Singapura?"

Perempuan itu mengangguk dengan senyum yang mengembang, pipinya sampai merona, "Ya, kita sama-sama kuliah di Singapura. Dia banyak mengajarkan aku tentang seni. Jurusan kita sedikit relevan. Dia bagian yang membuat gedung, dan aku yang membuat desain interiornya. Padahal aku enggak suka jurusan itu. Aku ada di sana karena aku ingin punya banyak waktu dengan dia," perempuan itu terkekeh pelan, "Aku konyol, ya?"

Fiona terpaku. Pikirannya mendadak bercabang kemana-mana. Fiona tahu, bumi sangat luas. Ia juga paham kalau banyak sekali manusia di muka bumi ini yang bekerja sebagai arsitek, membuat bangunan, membangun gedung. Tidak hanya Fian yang kuliah arsitektur di Singapura, juga bukan hanya Fian yang suka kopi Americano. Tapi, kenapa Fiona mendadak begitu cemas?

Fiona menggelengkan kepala, mencoba kembali fokus pada ucapan perempuan cantik di sampingnya.

"Aku selalu berharap dia tidak punya kekasih. Ah, dia itu terlalu tertutup, dan juga terlalu baik. Dia bahkan tidak pernah memperlihatkan kesedihannya, bahkan di depan jasad ayahnya yang baru saja meninggal beberapa bulan lalu. Dia tetap tegar. Pria idaman."

Deg.

Jantung Fiona seperti dipukul keras. Ulu hatinya terasa sakit. Ia ingin berpikir positif, tapi mengapa ciri-ciri itu semakin mengarah pada Fian?

HIPOTESA RASA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang