2. Patah

1.6K 206 14
                                    

Hari masih pagi. Bahkan, matahari saja masih belum sepenuhnya terbit, tapi Lana sudah siap berangkat ke sekolah, membuat para pekerja di rumahnya heran.

"Non Lana, tunggu sarapan siap dulu, ya?" Asisten rumah tangganya berlari mengejar Lana yang berjalan cepat ke teras depan di mana sopirnya sudah menunggu. Sebelumnya, ia sudah mengirim pesan kepada Pak Diding-sopir pribadi keluarganya-untuk bersiap-siap karena dirinya akan berangkat lebih pagi dibanding biasanya.

"Nggak usah, Bi. Aku sarapan di sekolah aja." Lana menjawab cepat tanpa menoleh ke arah sang asisten rumah tangga.

"Tapi, Non-"

"Aku beneran buru-buru," potong Lana cepat. "Maaf, ya, Bik. Nanti aku sarapan di kantin aja." Lana akhirnya berhenti berjalan cepat ketika sudah sampai di teras depan.

Mobilnya sudah siap. Pak Diding pun langsung menyambut dan segera membukakan pintu begitu Lana tiba.

"Kita berangkat sekarang, Non?"

"Ya, Pak." Lana masuk ke dalam, melambai ke arah asisten rumah tangganya sebentar, lalu menutup pintu.

"Huft!" Lana membuang napas dengan keras ketika mobil mulai bergerak. Rasa tak sabar sekaligus gugup ia rasakan membayangkan pertemuannya nanti dengan Furi.

Pagi itu, Lana berencana menemui Furi di pos penjaga Jurang Akhir. Ia ingin mengucapkan terima kasih sekaligus memberikan sedikit hadiah untuk Furi. Di pangkuannya sudah siap sebuah kotak berwarna hijau tua dengan hiasan pita berwarna emas di luarnya. Isinya adalah sebuah jam tangan mewah lengkap dengan sertifikatnya yang ia ambil dari lemari koleksi papanya.

Lana tidak memiliki banyak waktu untuk membeli hadiah baru, sementara ia ingin segera memberikan hadiah dan mengucapkan terima kasih kepada pemuda yang menolongnya kemarin. Jadi, ia hanya menyiapkan hadiah dari apa yang ada di rumahnya saja. Ia yakin papanya tidak akan keberatan. Apalagi jika dirinya menjelaskan mengenai insiden yang hampir merenggut nyawanya kemarin.

Semalam tadi tidurnya kurang nyenyak karena terus dihantui oleh bayangan Furi yang pergi begitu saja begitu selesai mengantarnya pulang. Itu membuatnya merasa tak enak hati dan merasa bersalah. Bahkan, dirinya belum sempat mengucapkan terima kasih.

Mendekati Jurang Akhir, debaran di dada Lana terasa makin tak terkendali, membuat telapak tangannya berkeringat dan napasnya pun sesak.

"Pak Diding, tolong berhenti sebentar di depan pos PKJR* itu ya." Lana berkata kepada sopirnya dengan suara gemetar karena gugup.

"Ngapain, Non?" Pak Diding bertanya heran.

"Ada perlu sedikit," jawab Lana cepat. "Tapi, jangan bilang-bilang Papa sama Mama, ya, kalau Lana pernah ke sini."

Pak Diding hanya tersenyum, tapi tetap mengikuti kemauan anak majikannya itu. Ia menghentikan mobil tepat di depan pintu pos. "Jangan lama-lama, ya, Non. Nanti telat ke sekolahnya."

"Cuma bentar, kok." Lana menjawab sambil keluar dari mobil.

Ia berdiri di tepi jalan sambil mengamati petugas yang saat itu sedang mengatur jalan raya di tengah tanjakan. Hantaman rasa kecewa ia rasakan di dada ketika menyadari bahwa petugas itu bukanlah pemuda yang kemarin menolongnya.

"Ada yang bisa dibantu, Dek?" Seorang pria paru baya keluar dari pos, menghampiri Lana.

"Maaf, Pak. Apa Furi ada?"

"Wah." Pria itu mengamati Lana dengan dahi berkerut, lalu menjawab, "Kalau jam segini dia belum datang. Biasanya siang atau sore. Maaf, kalau boleh tau ada masalah apa, ya, sama Furi?"

"Hmm, nggak ada masalah apa-apa, kok, Pak." Lana bimbang, tapi kemudian ia memutuskan untuk menitipkan hadiah untuk Furi kepada bapak itu. "Kalau saya titip ini saja, untuk Furi apa bisa, Pak?"

Cinta Manusia Biasa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang