5. Waktu Berpikir

1.1K 158 6
                                    

Pagi itu Lana bangun tidur dalam kondisi tidak terlalu bersemangat. Padahal hari itu adalah akhir pekan dan sekolahnya pun libur.

Semalaman tadi, tidurnya kurang nyenyak—sebenarnya selama beberapa hari ini memang tidurnya selalu tak nyenyak—karena terus terngiang ucapan Furi kemarin. Tidak hanya terngiang ucapannya, bahkan, ekspresi Furi saat mengatakan itu pun masih tergambar jelas di benaknya. Lelaki itu masih menolak untuk jadian dengannya dengan banyak alasan yang sudah ia kemukakan—yang masih belum bisa Lana terima sebetulnya—tapi akhirnya Lana harus sepakat dengan itu.

Selama beberapa waktu ke depan Lana dan Furi sudah sepakat untuk tidak saling bertemu. Hal itu untuk memberikan waktu baik bagi Lana ataupun Furi supaya memikirkan kedekatan yang ingin mereka jalani ke depan. Lana sendiri tidak mempermasalahkan status Furi dan siapa Furi, sementara Furi justru sangat mempermasalahkan hal itu. Namun, Furi beralasan jika semua yang ia lakukan adalah demi kebaikan Lana sendiri.

Menurut Furi, Lana masih begitu muda dan belum bisa berpikir panjang-hanya mengikuti keinginan sesaat-yang itu bisa mengakibatkan penyesalan yang menyakitkan. Untuk itu dia meminta kepada Lana agar bisa berpikir lebih jernih sebelum mengambil keputusan.

Lana turun dari kamarnya yang terletak di lantai dua dengan langkah gontai. Dia tidak memiliki semangat sama sekali untuk menjalani hari itu. Hatinya hanya terasa kosong dan enggan melakukan apa pun.

Sampai di meja makan, Lana hanya duduk diam tanpa menyentuh sarapannya. Hal itu menimbulkan keheranan asisten rumah tangga yang bertugas melayani segala kebutuhannya.

"Non, mau dibuatkan sarapan yang lain?"

Lana hanya menggeleng lemah sebagai respon, sementara matanya terus menatap kosong ke arah depan. Furi memang tidak menolaknya, tapi entah mengapa Lana merasa jika lelaki itu sedang berusaha untuk menjauh darinya dan itu membuat hatinya merasa buruk.

"Hari ini Papa pulang, Non, tapi malam nanti katanya mau terbang ke Bali ada kasus yang harus ditangani di sana. Kalau Mama masih di Korea, seminarnya belum selesai." Sang asisten berusaha membuka obrolan ringan untuk memancing reaksi Lana, tapi nyatanya putri majikannya itu masih tetap diam mematung dengan wajah menderita seperti sedang putus cinta. Dia pun akhirnya memberanikan diri bertanya apakan putri majikannya itu memang sedang patah hati?

Air mata Lana langsung menetes ketika asisten rumah tangganya itu menyebut soal patah hati dan putus cinta. Dadanya kembali terasa sesak, memikirkan Furi yang tidak mau bertemu dengannya untuk sementara waktu ini dan sulit rasanya ia lakukan karena baru beberapa jam saja tidak bertemu rasanya sudah seperti setahun.

"Wah, ternyata beneran patah hati, Non?"

"Aku dicampakkan, Bik." Lana tak tahan lagi. Ia pun akhirnya terisak sambil menceritakan masalahnya pada sang asisten rumah tangga. Bik Lastri memang bukan orang tuanya, tapi dia adalah orang yang sudah mengurusi Lana sejak kecil di saat dua orang tuanya sibuk dengan karir masing-masing hingga Bik Lastri pun sudah hafal dengan sifat dan sikap Lana.

"Hmm, tapi menurut Bik Lastri, ya, Non, apa yang dia omongin itu bener loh."

"Jadi, Bik Lastri belain dia?" Lana meraung semakin keras membuat beberapa asisten rumah tangga yang lain ikut mengintip dari dapur.

"Bukan belain, Non, tapi memang orang rendahan kayak kami gini, harus sebisa mungkin punya rasa sadar diri, Non. Kalau enggak, ya, bakal jadi masalah. Nah, kalau sudah jadi masalah, siapa yang mau belain kami, Non?"

"Memangnya masalahnya apa, sih, Bik? Kenapa soal kaya miskin saja harus jadi masalah?" Lana mengambil serbet putih di atas meja makan untuk membuang ingusnya. "Yang penting, kan, suka sama suka, Bik."

Bik Lastri menatap Lana dengan pandangan prihatin. Ia mengusap pundak Lana beberapa kali untuk menenangkan putri majikannya itu. "Ya, orang rendahan kayak kami gini nggak bakal berani berharap banyak sama yang namanya cinta, Non. Kita mah dituntut untuk menerima kenyataan saja. Gini aja, deh, misal Non mau lanjutin pacaran sama dia terus ketahuan sama Papa dan Mama, menurut Non gimana?"

Cinta Manusia Biasa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang