Neun:

526 67 28
                                    

[Kediaman Keluarga Bramantya]

Arsenio membuka jendela kamarnya dengan mata yang belum bisa terbuka bebas, Ia berjalan seraya meraba-raba benda di sekitarnya.

Hari ini adalah hari minggu, dan juga hari ulang tahun Sagara. Rencananya ia akan pergi bersama kakak sulungnya pagi ini untuk membeli kue dan kado. Pintu kamarnya terbuka tanpa suara, Mahija masuk ke dalam kamar si tengah seperti pencuri yang berusaha memasuki rumah targetnya—tanpa suara pijakan.

"Lo ini baru bangun, dik? Astaga, Arsen ini sudah pukul enam," ujar Mahija berbisik.

Arsenio meraih handuk navy miliknya, kemudian ia melirik ke arah kakaknya. "Nyawaku baru saja terkumpul, astaga kak. Jangan mencari ribut denganku," Mahija menggelengkan kepalanya,

"Cepat mandi, dasar pemalas. Jangan sampai Sagara bangun sebelum kita keluar dari rumah," ujarnya.

Arsenio tak lagi menjawab, ia memilih untuk menurut pada Mahija. Benar juga, kalau sampai si bungsu terbangun sebelum mereka bisa keluar 'kan ribet urusannya.

Setelah Arsenio sudah segar dan juga wangi tentunya, si sulung mengajaknya untuk sarapan dahulu di luar. Sepiring honey waffle dan choco pancake dengan segelas hot coffe juga susu full cream hangat adalah menu sarapan mereka pagi ini. Di sebuah cafe yang memang menyediakan menu khusus sarapan, tidak jauh dari kediaman mereka.

Arsen tersenyum manis melihat choco pancake di hadapannya, ia juga melirik kepada gelas berukuran sedang berisi susu full cream hangat.

"Kalau ini adalah susu pisang, bakalan lebih nikmat lagi," ujar Arsenio seraya menghirup aroma susu miliknya. Mahija hanya melirik sang adik malas, ia kemudian memotong-motong wafflenya hingga berukuran kecil-kecil dan siap dilahap.

"Ya, kak? Susu pisang, ya??"

"Iya bocah. Kuras saja terus uang bulanan gue," jawab Mahija, kemudian ia melahap potongan waffle dari garpunya.

"Yey! Kau yang paling keren deh, kak," ujar Arsenio—lupa tempat, beberapa pelanggan cafe bahkan sempat menoleh ke arahnya. "Diam, dan habiskan sarapanmu, Sen. Aku tidak akan membelikanmu susu pisang jika kau membuatku malu," Ancam Mahija.

Arsenio kemudian memasang wajah menggemaskan, ia berusaha terlihat imut agar Mahija luluh. Ya, itu adalah salah satu taktik Arsenio agar sang kakak tidak memarahinya, padahal aslinya Arsenio itu jahil dan menyebalkan pada Mahija.

"Aish! Berhenti sok imut gitu. Otot lo yang mulai besar ini sangat gak cocok dengan wajah yang kayak begitu, Sen. Gue jadi ingin tertawa, dasar."

Arsenio tertawa kecil, "Berotot pun, aku ini tetap adikmu, kak. Jadi kau harus tetap menuruti permintaanku meskipun nanti tubuhku akan tumbuh lebih besar dibanding dirimu," Jawab yang paling muda santai.

"Yak! Kurang ajar."

*

Pagi ini, Savier masih menyantap makanan rumah sakit yang tidak ada rasanya. Hambar, seperti suasana hatinya pagi ini. Setelah melaksanakan operasi, ia tidak bisa makan makanan berat terlebih dahulu. Alhasil pagi ini pun ia hanya memakan semangkuk bubur putih tanpa isian lainnya.

Albi—sang ayah tidak bisa menemani sarapan pagi ini. Pasiennya sedang banyak, dan Savier memaklumi hal itu. Kepalanya tidak pernah berhenti memikirkan Arsenio, ruang pada setiap sudut pikirannya seakan hanya penuh oleh adiknya itu.

Apa Adiknya bahagia? Apa Adiknya merindukannya juga? Apa Adiknya sekolah dengan baik?

Kenapa? Kenapa Savier tidak bisa berhenti memikirkannya? Padahal adiknya tinggal bersama Yudi, sudah pasti hidupnya terjamin.

Schutzflügel (Sedang Dalam Revisi) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang