Sieben:

554 65 42
                                    

Pagi-pagi sekali, Savier sudah pergi dari rumah menuju sekolahnya dahulu untuk menemui kepala sekolahnya. Tiba-tiba saja ia mendapatkan telepon kalau ia harus datang ke sekolah lamanya.

Setelah Ia tiba di SMAN Pelita Ilmu 03, segera saja ia menuju ruang Kepala Sekolah.

"Permisi?"

"Savier Ragnala? Kau 'kah itu?" Suara milik Zaidan Muntaha—kepala sekolah SMAN Pelita Ilmu 03 terdengar oleh Savier. Ia menoleh ke asal suara, dan ketika ia menemui posisi Zaidan, ia membungkukkan badan—memberi hormat.

Zaidan menyuruhnya untuk duduk di sofa ruangan. Pria berusia tiga puluh lebih itu ingin berbicara serius pada mantan muridnya yang mengundurkan diri tersebut. "Saya ingin kembali menawarkan tawaran saya untuk kamu tetap bisa sekolah di sini, Savier. Beasiswa full, kamu hanya perlu belajar yang rajin agar nilaimu tetap stabil. Untuk urusan dokumen, biar menjadi urusan saya," jelas Zaidan menyampaikan maksudnya.

"Tidak, Pak. Maafkan saya. Saya tidak bisa menerima tawaran itu. Saya tidak bisa mengorbankan pekerjaan saya hanya untuk kembali bersekolah," Jawab Savier dengan tatapan sendunya.

"Savier, tapi kau sangat berbakat dalam melukis. Klub melukis di sekolah ini terkenal paling bagus di Bogor, kau bisa diarahkan untuk menjadi pelukis tanah air yang terkenal. Semua bakatmu akan sia-sia jika—"

"Saya mengerti, pak Idan. Tetapi saya mohon maaf, untuk saat ini tidak ada yang lebih berharga bagi saya selain bisa membayar pajak rumah, listrik, air dan makan sehari-hari. Saya ingin, sangat ini, tapi saya harap bapak juga memahami posisi saya." Kali ini Savier memotong ucapan Zaidan.

Zaidan kini menatap muridnya itu dengan tatapan penuh iba. "Kau sangat kurus dan pucat, Savier. Saya harap kamu tetap beristirahat cukup. Kau bisa meminta bantuan kepada saya, jangan selalu menyimpan semua sendirian. Lagi pula kenapa kamu tidak ikut dengan adik dan ayahmu saja?"

"Terkadang ada hal yang tidak kita ketahui kebenarannya, pak Idan. Dan kita tidak perlu tahu kebenarannya. Saya permisi, semoga harimu baik, pak." Savier segera bangkit dari duduknya dan berpamitan untuk pergi dari ruangan itu.

Zaidan memilih untuk tidak menahannya lagi, ia hanya menatap ke arah menghilangnya Savier, dan mencoba meresapi perkataan anak muda itu sebelumnya.

*

[Institut Kesenian Jakarta]

Mahija baru saja keluar dari perpustakaan IKJ dengan sebuah buku tebal yang baru saja ia pinjam. Pemuda FSP itu baru akan mencari tambahan referensi untuk menghadapi kuis Pengantar Etnomusikologi dua jam dari sekarang, di kelas yang selanjutnya.

Ia begitu terkejut ketika tidak sengaja bertabrakan dengan salah seorang teman sekelasnya yang kurang ia kenal. Mahija spontan meminta maaf.

"Astaga, gue minta maaf," ujar Mahija dengan nada terkejutnya, ia membungkuk untuk mengambil bukunya yang terjatuh, tetapi pemuda di hadapannya itu lebih dulu mengambilnya.

"Santai, gue juga ceroboh. Maafin gue juga, ya?" ujar lawan bicara Mahija itu. Didengar dari nada bicaranya, Mahija berani bertaruh kalau pemuda di depannya adalah sosok yang begitu ramah, dan pastinya ceria.

Mahija menjadi tidak canggung ketika ia mengenali kalau pemuda di hadapannya bukanlah orang yang kaku atau sebelas-dua belas dengannya.

"Thanks ya, gue beneran minta maaf. Panik dikit, habis ini kuis. "

"Hahaha, santai saja.."

"Gue Mahija, kayaknya kita sekelas? Tapi gue gak terlalu kenalin lo sih sebelumnya," ujar Mahija sedikit ragu ketika mengakui bahwa dirinya sekelas dengan pemuda ramah di depannya.

Schutzflügel (Sedang Dalam Revisi) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang