Dreizehn:

523 69 30
                                    

Bisakah sebuah dendam dan rasa benci lenyap tanpa perlu menunggu penyesalan datang menyergap? Arsenio butuh cara itu, tidak. Ia tidak membutuhkannya. Arsenio butuh, tetapi juga tidak. Ia merindukan Savier, tetapi ia juga mencoba menekannya agar tak lagi mengingat Savier lebih lama.

Arsenio ingin bertemu, kemudian memeluk kakaknya yang baik hati dan tulus itu, tetapi gengsinya besar. Rasa bencinya membutakan.

Keringat dingin sebesar biji jagung membasahi keningnya, napasnya memburu. Arsenio terbangun dari bunga tidurnya yang sangat buruk. Ia ketiduran setelah menghabiskan waktu melamun di balkon kamar. Padahal niatnya masuk ke dalam kamar hanya untuk mengambil jaket tebal yang lebih menghangatkan tubuhnya.

Ayahnya, kakak, serta adiknya belum menunjukkan tanda-tanda pulang ke rumah. Rumahnya masih sepi. Arsenio membuka ponselnya untuk mengecek apakah ada pesan masuk untuknya atau tidak, lalu mengecek berapa jam ia tertidur dipinggir ranjang—hanya sekitar empat puluh menit. Tidak lama.

Pemuda bermata bulat itu menyeka sisa keringat dingin pada dahinya, kemudian meraih sisa air pada gelas di atas nakas. Sagara memberikannya sebuah pesan singkat, anak itu bertanya apa yang Jungkook inginkan. Dan si penerima pesan ini memilih untuk tidak membalasnya.

Ia bingung, akhir-akhir ini Savier benar-benar mengganggu pikirannya. Apa ini salah satu efek rindu?

“Dia bukan kakak kandungku, tetapi kenapa aku begitu merindukannya, Tuhan?”

*

“Bolehkah Savier tidur bersama ayah malam ini?”

Albi tertawa kecil setelah ia mendengar pertanyaan putra sulungnya. Soobin sudah pergi tertidur setengah jam yang lalu. Setelah menghabiskan cumi asam manis dengan nasi porsi besar, anak itu berpamitan pergi ke kamar karena sudah mulai mengantuk dan ia juga harus menyiapkan beberapa buku untuk dibawa ke sekolah esok hari. Menyisakan si sulung dan Albi di meja makan.

“Boleh, nak. Apa yang kamu rasakan?” Albi bertanya karena ia mengerti bahwa putranya sedang menyembunyikan perasaannya. Anak itu tersenyum kotak, “Aku akan membersihkan piring kotor ini, lalu merapikan laptop dan pergi ke kamar ayah,” ujarnya tanpa menjawab pertanyaan sang ayah.

Albi menganggukkan kepala, “Baik. Ayah akan mandi dulu. Kau boleh cerita sepuasnya setelah itu.”

Dengan anggukan antusias, Savier kemudian mulai membereskan peralatan sisa makan mereka dan Albi bergegas pergi membersihkan dirinya.

Albi mengerti bahwa putra sulungnya sulit sekali mengungkapkan rasa lelahnya. Anak itu akan cenderung memasang personanya, menyembunyikan segala rasa sakit dan lelah yang bisa ia sembunyikan.

Albi melihat, bahwa putra sulungnya terbiasa bersikap kuat karena tidak pernah memiliki rumah untuk ia pulang. Bukan rumah bangunan, tetapi rumah lain yang bisa membuatnya merasa nyaman untuk berkeluh kesah.

Ya, bagaimana? Sejak kecil tidak mendapat kasih sayang seorang ayah, kemudian ibunya pergi dengan tanggung jawab seorang adik yang ditinggalkan, kemudian kenyataan bahwa ternyata ia bukanlah anak yang diharapkan dan sebuah hasil kesalahan...

Dari dalam lubuk hati terdalamnya, Albi selalu salut dengan bagaimana pemuda pemilik senyum kotak itu tetap bertahan atas segala ujian hidup yang Tuhan berikan padanya. Maka, ketika ia sudah bisa mendapatkan Savier di sisinya, ia berjanji akan menjadi ayah yang bertanggung jawab serta menjadi rumah Savier untuk pulang.

Putra sulungnya itu sudah berada di atas ranjang—tidur meringkuk dengan bahu bergetar setelah Albi keluar dari kamar mandi dengan piyama hitam kotaknya.

Schutzflügel (Sedang Dalam Revisi) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang