Zwei:

1.1K 98 14
                                    

[Kediaman Keluarga Bramantya, Jakarta]

"Kak Mahijaaa!!! Astaga, ayuk cepat turun, aku sudah sangat lapar. Ayah juga sudah menunggu lama. Kita bisa telat sekolah!!" Sagara berteriak lantang dari lantai bawah.

Mahija yang tengah mencari kaus kaki kesayangannya yang hilang menggerutu kesal kepada sang adik. "Sabar! Kaus kaki kesayangan gue hilang, tahu!" Jawab pemuda sipit tak kalah lantang dari suara sang adik.

Setelahnya tidak ada lagi suara teriakan Sagara yang menanggapi ucapannya, tetapi sebuah hentakan kaki kencang terdengar mendekat ke arah pintu kamar pemuda sulung Bramantya itu.

Suara pintu terbuka kasar terdengar sangat berisik di telinga Mahija. Ia dapat melihat jelas adiknya tengah berdiri di ambang pintu dengan wajah gemas bak akan menyantap Mahija. Kedua tangannya bertolak pinggang.

"Dasar bocah! Kau ini sudah kelas dua belas, kak. Kenapa sih masih saja seperti bocah taman kanak-kanak?!" Ujar Sagara jengkel sebagai permulaan perang dunia ketiga di rumah keluarga Anh pagi ini.

Mahija menghela napas, mencoba untuk tetap sabar dan tidak mencakar-cakar wajah adiknya yang tampan.

"Itu kaus kaki putih terlembut dan tersejuk yang pernah gue punya, bocil. Jauh tuh gue belinya. Saat pertukaran pelajar kelas sepuluh ke Jerman. Itu limited edition, dan lo juga pasti akan meraung-raung enggak jelas kalau barang kesayangan lo hilang 'kan? Masih mending gue hanya berusaha mencari, tanpa meraung-raung!" Jelas Mahija.

"Ohh?! Kau menyindir diriku, kak?!"

"Enggak kok, gue justru malah ngomong terang-terangan sama lo, bocah."

"Kak Mahija sial—"

"Hei? Sudah bertengkarnya?" Suara Yudi Bramantya—Ayah keduanya yang kini tengah menyilang tangan di depan dada dan menatap tegas pada kedua putranya membuat Sagara tidak jadi melanjutkan umpatannya pada sang kakak.

Entah sejak kapan Ayah Yudi berdiri di belakang si bungsu. Kedua anak itu hanya sibuk bertengkar sejak beberapa saat lalu.

"Mahija, pakai kaus kaki yang ada dulu. Ayah bisa membelikanmu kaus kaki seperti itu selusin jika kau mau. Sekarang kita harus cepat sarapan, dan bergegas agar tidak telat. Waktu tidak akan pernah menunggu kita, boys..." Ucap Ayah Yudi lembut, tetapi tegas. Kedua putranya mengangguk patuh.

"Bagus, let's go. Don't waste your time, boys."

*

[Yayasan SMP & SMA Swasta Albettara, Jakarta]

"Tolong kabari Ayah ketika kamu selesai les, ya?" Ujar Ayah Yudi ketika kedua putranya bersiap turun dari mobil. Mereka sudah tiba di sekolah Mahija dan Sagara. Beberapa kilometer dari tempat tinggalnya.

"Baik, Ayah." Jawab Mahija dengan senyuman. Ayah Yudi hanya bisa terkekeh melihat putra sulungnya yang masih seperti bocah meskipun sudah akan menjadi mahasiswa di tahun berikutnya.

"Dasar anak kecil," Gerutu Sagara dengan suara kecil, tetapi masih dapat terdengar jelas oleh si sulung. Senyuman Mahija berubah menjadi senyuman terpaksa untuk sang adik. "Sampai berjumpa nanti malam di perang bantal, sobat!" Ujar Mahija.

Beomgyu tidak menjawab apapun, ia malah menjulurkan lidahnya pada sang kakak—meledeknya.

Ayah Yudi menggelengkan kepala, kedua putranya selalu bertingkah dan membuat kepalanya berdenyut. "Boys, sudahlah. Mahija, Kau segera masuk ke kelas. Kalau bukan Kamu yang mengalah, adikmu ini tidak akan pernah berhenti. Sagara, kamu juga cepat masuk ke kelasmu. Gedung SMP berada lebih jauh dari gedung SMA, nanti kamu telat," Ujar Ayah Yudi menasehati.

Schutzflügel (Sedang Dalam Revisi) ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang