Pukul empat sore, Neira sudah berada di rumahnya yang sepi. Tak ada siapa-siapa di sana, selain dirinya sendiri. Dan ya, dia sudah terbiasa dengan kesunyian ini. Dia sudah berteman dekat dengan rasa sunyi dan sepi.
Jika dulu saat orangtuanya masih ada, Neira selalu mengunjungi orangtuanya, mengobrol walau hanya sebentar agar tak merasa kesepian. Atau menghubungi ibunya lewat telepon dan mengobrol sampai malam.
Sekarang, Neira tak bisa menghubungi siapapun. Teman-temannya memiliki kehidupan masing-masing, dan Neira tak mau mengganggu waktu mereka hanya karena rasa kesepiannya.
Neira baru saja selesai mandi dan berpakaian. Karena tak ada kegiatan, dia memilih menonton televisi saja di ruang keluarga. Ditemani dengan secangkir teh hangat dan camilan. Saat sedang fokus dengan tontonan di depannya, Neira dikejutkan dengan suara bel pintu yang berbunyi. Alisnya bertaut, merasa heran. Siapa yang datang sore hari begini?
Neira pun berdiri dan berjalan cepat mendekati pintu utama. Dia memutar kunci, dan membuka pintunya. Ekspresi wajahnya terlihat kaget melihat orang yang ada di hadapannya sekarang.
"Nenek. Aku kira siapa," ucap Neira canggung.
"Minggir. Aku mau masuk," ucapnya dengan ketus. Neira pun langsung membukakan pintu dengan lebar dan membiarkan orang yang dia panggil nenek itu agar masuk ke dalam rumah.
"Duduk dulu, Nek. Biar aku buatkan minum," ucap Neira dengan sopan.
"Tak perlu. Mana Fathan?" Arogan, begitulah sikap nenek tersebut. Wanita lanjut usia bernama Wina yang merupakan nenek Fathan memang selalu bersikap kasar dan ketus pada Neira. Karena dia, adalah satu-satunya orang yang tidak menyetujui pernikahan cucunya dengan Neira.
"Mas Fathan masih kerja, Nek. Katanya hari ini lembur." Neira menjawab dengan sopan walau perilaku Wina tak baik padanya.
"Bagus sekali. Kamu itu memang gak becus ya jadi istri. Makanya Fathan memilih lembur dari pada melihatmu lama-lama di sini," ucap Wina dengan sinis. Neira menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sejak awal, Wina memang tidak menyukainya. Wanita lansia tersebut selalu saja mencari kesalahan Neira. Dimata Wina, Neira selalu salah.
"Nenek ada perlu pada Mas Fathan?" Neira bertanya lagi, berusaha bersabar.
"Kenapa memangnya? Mau mengusirku? Ini rumah cucuku. Jangan sok berkuasa." Jawaban Wina memang tak terduga dan Neira pun hanya menghela nafas pelan. Dia bangkit berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar. Neira mengambil ponselnya dan mencari-cari kontak Fathan. Neira tak pernah menghubungi Fathan, sedarurat apapun situasinya. Tapi jika berhadapan dengan Wina, Neira tak bisa sendirian. Biarlah Fathan yang menghadapi neneknya sendiri.
"Halo. Ada apa?" Fathan bertanya singkat dari seberang. Sepertinya dia pun cukup heran karena Neira tak pernah menghubunginya.
"Nenek datang, Mas." Neira berkata.
"Aku pulang sekarang." Setelah mengatakan itu, sambungan telepon diputus sepihak oleh Fathan. Neira menghembuskan nafas lega, karena Fathan akan pulang cepat.
"NEIRA!"
Teriakan Wina yang membahana membuat Neira terperanjat kaget. Dia pun langsung berlari mendekati wanita tersebut. Duh, ada apa lagi sih?
***
Fathan membuka pintu rumahnya, dan dia segera masuk ke dalam. Saat mendekati ruang keluarga, Fathan mendengar suara neneknya yang sedang mengomeli Neira.
"Makanya kalau jalan mata dipakai! Lihat sekitar!" seru Wina. Neira hanya diam seraya memunguti pecahan gelas di atas lantai.
"Ada apa ini?" Fathan muncul dan bertanya. Perhatiannya langsung teralih pada Neira.
"Nih, istri kamu. Bawa minuman aja sampai tumpah. Gak becus." Fathan menghela nafas pelan mendengar itu. Bukan hanya Neira sebenarnya yang kurang suka terhadap Wina. Tapi Fathan juga. Masalahnya, neneknya tersebut selalu saja berbicara kasar dan tak memikirkan perasaan orang di depannya.
"Makanya jadi istri yang becus. Harus-"
"Nek, cukup. Neira juga pasti tak sengaja," ujar Fathan sedikit kesal. Wina yang mendengar itu langsung melotot ke arah Fathan.
"Berani kamu menaikkan suara pada nenekmu hanya karena dia?!" Wina berkata lantang dengan telunjuk mengarah pada Neira. Fathan mengusap kasar wajahnya. Selalu saja begini.
"Nek, aku capek. Tolong jangan membuat kegaduhan."
"Istirmu yang cari masalah!"
Neira yang sudah selesai membereskan pecahan gelas tersebut langsung berjalan meninggalkan Wina dengan Fathan. Matanya sudah berkaca-kaca, sakit hati atas segala perkataan Wina.
"Ada urusan apa Nenek datang ke sini?" Fathan bertanya langsung seraya duduk di sofa. Dia menatap neneknya dengan tatapan bertanya.
"Nenek hanya ingin melihat keadaanmu," ujar Wina. Suaranya kini sudah melemah, dan dia pun ikut duduk di sofa.
"Aku baik-baik saja, Nek. Tak perlu khawatir."
"Tidak. Nenek yakin dia gak becus ngurus kamu. Sejak awal kan dia memang gitu," gerutu Wina.
"Nenek tak melihat setiap hari. Aku sehat dan baik-baik saja. Tandanya Neira bisa mengurus aku dengan baik," ucap Fathan lagi, mematahkan persepsi neneknya tentang Neira.
"Kamu itu kenapa sih mau-maunya nikah sama dia? Banyak loh wanita yang lebih pantas jadi istrimu." Wina berucap dengan sinis. Dan Fathan sudah mendengar itu puluhan kali.
"Nek, aku-"
"Nenek tahu kamu menikah dengannya demi ayahmu. Sekarang ayahmu sudah meninggal. Ceraikan saja dia." Wina berkata dengan mudah, tanpa memperhatikan ekspresi wajah cucunya.
"Cukup, Nek. Aku dan Neira tak akan pernah bercerai."
"Fathan, buka matamu! Apa yang kamu lihat darinya sih?! Dia itu hanya beban bagimu!"
"Nek, Neira itu istriku. Kewajibanku untuk memenuhi segala kebutuhannya."
"Nah, itu. Dia itu sebenarnya hanya parasit dalam hidupmu."
"Nek, pulanglah. Matahari sebentar lagi terbenam." Fathan langsung menyuruh Wina pulang, enggan meladeni perkataan neneknya lagi.
"Kamu berani mengusir nenekmu sendiri?!"
"Nek, aku-"
"Kamu masih mau mempertahankan wanita mandul sepertinya hah?!" teriak Wina. Alis Fathan langsung berkerut mendengar itu.
"Nek, jangan mengatakan hal seperti itu."
"Itu fakta, Fathan! Lihat saja sekarang. Kalian sudah satu tahun menikah dan dia masih belum hamil. Itu tandanya dia mandul! Dia tak pantas untukmu!" Fathan mengurut keningnya sendiri mendengar itu. Tentu saja Neira tidak hamil karena dia pun tak pernah menyentuhnya.
"Nek, pulanglah. Aku mau istirahat." Setelah mengatakan itu, Fathan berdiri dan berjalan meninggalkan neneknya. Dia menuju ke dapur, karena tahu Neira masih ada di sana. Sementara Wina, geram sendiri karena Fathan terus melawan perkataannya.
Sejak awal dia memang ingin Fathan menceraikan Neira. Jika Fathan tak menurutinya, maka Wina tak akan berhenti begitu saja.
_______________________________________
Hai semuanya.
Update kedua ya.
Jangan lupa tinggalkan jejak🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Wedding
RomanceFathan Bramata menikahi seorang wanita bernama Neira Widyawati atas perintah orang tuanya. Sebagai anak yang baik, tentu Fathan tak menolak. Namun pada akhirnya, Fathan dan Neira menjalani pernikahan yang dingin, berbeda dari pasangan suami istri ya...