Part 5

26 2 0
                                    

*Brukkk*
Tiba-tiba datang seseorang dengan tubuh besar yang memaksa Aga untuk mengikutinya.

"Lo siapa?! Lepasin gue!", teriak Aga.
"Diem ga lo? Ikut gue. Gue ga bakal apa-apain lo asal lo nurut. Kalo lo berontak, nyawa Presma lo jadi taruhan",
"Anjing! Mau lo apa?!",
"Ikut gue! Ga usah banyak tanya. Diem aja lo!"

Di suatu ruangan yang cukup gelap, nampaknya itu adalah salah satu gudang di kampus.

"Jadi, apa mau lo? Lo siapa? Dan kenapa lo maksa gue buat ikut lo kesini?",

"Lo ga perlu tau gue siapa. Gue cuma mau lo jelasin ke gue sekarang, apa rencana kalian tanggal 28 Oktober nanti?",

"Oh lo pasti suruhan pemerintah bangsat ini kan? Yang udah bunuh sahabat gue! Ga akan gue kasih tau lo apa yang bakal gue lakuin anjing!",

"Ga usah berlebihan, lo jawab aja. Inget yang gue bilang, nyawa Presma lo yang jadi taruhan kalo lo banyak bacot!",

"Gue ga akan kasih tau ke siapapun apa yang udah gue siapin. Lo akan tau nanti. Ga semudah itu buat gue nyampein hal yang bersifat rahasia ke orang suruhan macem lo gini!",

"Heh! Kalo lo ga jelasin sedikitpun, gue ga becanda bahwa nyawa Presma lo jadi ancaman! Lo harus percaya sama gue!",

"Percaya?! LO GILA?!!! Lo pikir gue ga tau lo siapa? Dengan gaya pakaian lo kayak gini. Gue yakin lo ga ada bedanya sama orang yang udah bunuh sahabat gue tanpa pertanggungjawaban!",

"Agastya Pradipta! Lo harus jawab gue! Waktu gue ga banyak disini dan kesabaran gue mulai habis ya",

"Hahaha dasar sumbu pendek. Kenapa? Kesel ga dapet jawaban dari gue? Mau pukul gue? Bunuh gue? Sini, gue ga takut!",

"Gue ga akan bunuh lo bahkan Presma lo! Tapi gimana pun juga, nyawa Presma lo jadi ancaman. Jangan bertindak bodoh!",

"Lebih bodoh lagi kalo gue membocorkan rencana strategis gue ke orang suruhan kayak lo!"

*Kring... kring...*
Telfon orang tersebut berbunyi, ia menjaga jarak dengan Agastya dan mengangkat telfon tersebut.

"Siap bang! Saya usahakan bang, kalau begitu saya lepaskan saja ya bang"

*Pip* telfon tersebut dimatikan.

"Baiklah, kalau lo emang ga akan pernah buka mulut soal rencana aksi lo ini, semoga lo ga akan nyesel suatu saat nanti. Silahkan lo pergi dari sini", ucap lelaki itu dengan nada datarnya.

Tanpa ada satupun kata yang keluar dari mulutnya, Agastya pun keluar dari gudang tersebut. Pikirannya mulai kalut, dalam dirinya sungguh risau dengan ancaman yang diberikan. Ia sangat ketakutan jika memang nyawa Saras menjadi taruhannya.

Aga berusaha menerka-nerka, siapa sebenarnya orang itu dan apa yang ia inginkan. Pikiran Aga menduga orang tersebut adalah salah satu anggota Kepolisian yang tentunya ingin menggagalkan rencana aksinya. Namun di satu sisi ia pun penasaran kenapa orang tersebut bersikap begitu santai padanya, tidak seperti anggota lain yang ia temui ketika di lapangan. Lagipula, Aga rasa ini hal yang biasa bagi aktivis kampus jika memang ada yang mengincarnya.

Agastya memutuskan untuk menelfon Kirana malam itu dan menyampaikan hal yang baru saja dialaminya. Ia tidak ingin menambah beban pikiran Saras.

Keesokan harinya di ruang kelas mata kuliah filsafat. Rama ternyata satu kelas dengan Saraswati, Agastya, Rembulan, dan Kirana.

Rama yang melihat Saraswati pun menyapanya dan duduk di bangku kosong sebelah Saraswati,
"Hai Ras, selamat pagi",
"Eh hai Ram, selamat pagi juga",
"Ini mata kuliah filsafat kan Ras? Dosennya killer ga sih kalo disini?",
"Iya bener Ram, hmm biasa aja sih menurut gue. Ga ada dosen killer disini haha",
"Oh oke-oke, pas banget diomongin langsung dateng tuh dosennya ya".

Agastya terus memperhatikan Rama yang sempat mengajak Saras berbincang, dan sesekali selama mata kuliah berlangsung pun Aga tidak melepaskan pikirannya dari kejadian semalam serta keberadaan Rama yang cukup aneh baginya.

Selesai kelas, Rembulan dan Kirana mengajak Saraswati untuk pergi ke kantin.
"Ras, kantin yuk. Udah lama ga nongkrong bareng di kantin, kelamaan hidup di Sekret kita nih", ucap Kirana.
"Bener banget Ras, hari ini ga usah ke Sekret yuk. Kita ngobrol aja nongki nyantai dulu gitu. Puyeng gue mikirin kajian kita. Nanti sorean kita ke cafe mana sekalian gitu", sahut Rembulan.

Saraswati pun mengiyakan ajakan kedua temannya. Rama yang mendengar hal tersebut pun mengajukan diri,
"Eh boleh ga gue ikutan? Nanti kalo mau cabut naik mobil gue aja. Gue yang supirin kalian mumpung lagi bawa mobil nih. Gimana Ras?",
"Gue sih bebas aja. Terserah Kirana sama Rembulan".
Kirana dan Rembulan mengiyakan ajakan tersebut. Namun karena rasa curiga yang masih kentara, Agastya juga mengajukan diri untuk ikut teman-temannya itu.

Setelah selesai makan siang di kantin — karena lebih murah makan di kantin, jadi sebelum nongkrong di cafe makan siang dulu di kantin tentunya — mereka pun berdiskusi untuk menentukan cafe mana yang akan mereka singgahi.

"Gimana kalau kita ke Kampoeng Gallery?", usul Rama.

Mendengar pertanyaan tersebut, Saraswati terkejut namun berusaha menyingkirkan kesedihannya. Sedangkan Agastya, Kirana, dan Rembulan memasang wajah penuh tanya yang besar. Bagaimana Rama bisa tau Kampoeng Gallery — yang notabene adalah tempat favorit Saraswati dengan Bima untuk menghabiskan waktu.

Agastya pun menjawab, "Eh mending kita ke Suasana Kopi aja yuk di Gandaria situ. Tempatnya baru dan kayaknya asik deh buat nongkrong",
"Eh iya boleh tuh boleh banget. Mending kesitu aja deh, gue belum pernah jadi penasaran", ucap Kirana dan dijawab anggukan oleh Saras dan Rembulan.

Sesampainya di Suasana Kopi, Rama memesankan signature coffee untuk dirinya dan Saras, americano untuk Agastya, serta green tea latte untuk Kirana dan Rembulan.

Rama membawakan pesanannya dan Saras.
"Signature coffee for special person", ucap Rama kepada Saras dan hanya dibalas ucapan terima kasih serta senyuman dari Saras.

Selama berada di Suasana, mereka berbincang-bincang tentang rencana mereka setelah kuliah. Selain itu terkadang juga keluar candaan yang memecah tawa mereka.

Namun, di satu sisi Agastya masih menimbun kecurigaan terhadap Rama. Ia pun mengeluarkan pertanyaan yang dipendamnya ini,
"Ram, gue boleh tau ga sih. Kenapa lo tiba-tiba pindah ke UI? Emang bisa ya di tengah-tengah semester kayak gini?"

Belum sempat menjawab, Aga mengeluarkan pertanyaannya kembali.
"Lo beneran mahasiswa UNJ dulunya Ram? Kenapa pas kajian kemarin kok lo ga ada sapa menyapa sama anak UNJ yang dateng? Bukannya dulu katanya lo ORMAWA juga? Masa iya ORMAWA ga ada ramah-ramahnya ke mahasiswa yang dulunya berada dalam satu tempat ia bernaung? Mahasiswa UNJ yang kemarin itu kan seangkatan sama kita, masa iya lo ga kenal sih? Lo sebenernya siapa sih Ram?"
Pertanyaan itu bertubi-tubi diberikan oleh Aga dengan kemarahan yang mulai tersulut.

Rama yang sedikit terkejut dengan pertanyaan itupun berusaha dengan tenang menjawab,
"Gue beneran mahasiswa disana kok dulu, gue juga ORMAWA. Lo bisa cek data-data gue kalau emang gue dulu anak UNJ kalo lo ga percaya. Kalo soal nyapa, gue sempet kok tegur mereka sebelum masuk ruangan, lo aja kali ga liat".

Saras yang melihat Aga hendak mengajukan pertanyaan lagi pun segera memotongnya.
"Udah Ga, lo udah denger jawaban Rama. Ga ada hal yang perlu lo curigain",
"Diem Ras, lo ga tau apa-apa!", sahut Kirana dengan cepat.
Jawaban itu cukup mengejutkan Saras dan mengundang tanya, kenapa tiba-tiba sahabatnya ini menjadi overprotective terhadap dirinya dan memandang curiga banyak orang.

Setelah perbincangan itu, suasana menjadi canggung.
Rembulan memecah keheningan, "Guys, lebih baik kita pulang aja yuk. Pada capek kan pasti, besok masih ada kuliah dan lusa kita ada kajian lanjutan. Waktu kita ga sebanyak itu buat saling menimbun kecurigaan. Mimpi kita terlalu banyak. Yuk balik yuk".

JANGAN DIAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang