Part 1

229 6 0
                                    

"Ras, kapan kita konsolidasi lagi? Lo ga akan nyerah gitu aja kan? Gue yakin Bima semangatin kita dari atas sana Ras",

"Iya Ga, secepatnya kita bikin kajian lanjutan dulu sebelum konsolidasi berikutnya ya. Gue mau aksi berikutnya berbuah hasil yang nyata Ga. Gue ga mau ngecewain Ayah dan Bima yang udah jadi bukti pahit perjuangan kita",

"Okay Ras, kalau ada waktu kosong langsung kabarin aja ya. Ingat Ras, jangan pernah bicarain soal aksi kita lewat media sosial, atau bahkan kirim pesan di Whatsapp, atau ke siapapun itu deh. Lo inget kan pas aksi waktu itu aja internet kita diputus, anak-anak pada diretas nomornya",

"Iya Ga, gue inget banget kok. Gue titip ya soal agenda-agenda ini nanti lo tolong undang ORMAWA kampus lainnya, LSM, dan organisasi terkait lainnya. Lo kan Humas terbaik yang gue punya",

"Siap Saraswati, wahai Presiden Mahasiswa yang terhormat hahaha".

Hari ini adalah hari pertama Saras kembali masuk kuliah setelah seminggu hanya bolak-balik ke Sekretariat kampus. Rasanya Saras begitu pedih ketika harus memasuki kelas, ia selalu teringat dengan Bima yang seringkali menjahilinya ketika di kelas, dan bahkan membantu Saras untuk mengerjakan ujian statistika — mata kuliah yang sangat ia benci karena ia tidak merasa ada hubungannya dengan ilmu sosial.

"Woy Presiden Mahasiswa ga guna!"

"Sampah lo, ga bisa jaga temen lo sendiri"

"Kayak gini nih kalo perempuan sok-sok an jadi pemimpin!"

Ucapan itu yang sekarang bergema di telinga Saras. Sakit hatinya kian bertambah, namun ia tidak berani membantah celotehan itu. Ia merasa bahwa memang ia tidak berguna karena tidak bisa menjaga sahabatnya sendiri, sang Koordinator Lapangan kala itu. Koordinator Lapangan yang rela mati untuk menjaga Presiden Mahasiswanya. Selama dalam kelas, pikiran Saras terus melayang. Pikirannya hanya diisi oleh ambisi untuk dapat melakukan reformasi.

Agastya yang melihat kesedihan dalam raut wajah Saraswati pun hanya bisa menggenggam tangan Saras, berharap ia bisa memberi sedikit ketenangan dan menyalurkan rasa bahwa ia memahami apa yang ada dalam hati dan pikiran Saras.
Selesai kelas hari itu, Saras langsung keluar kelas menuju Sekretariat.

Ketika berjalan melawati koridor kelas-kelas tersebut, ada seseorang yang memanggil Saras.
"Saras! Saraswati!", Saras pun berhenti dan memperhatikan orang yang memanggil namanya itu.

"Halo Saras, kenalin gue Rama. Gue anak pindahan dari Universitas Negeri Jakarta. Dulu gue juga anak ORMAWA, kita seangkatan loh",

"Eh iya, salam kenal ya Rama. Ada keperluan apa tiba-tiba memperkenalkan diri ke gue?",

"Hmm gapapa sih, ga boleh ya?",

"Boleh boleh aja kok, ada lagi yang mau disampaikan kah? Gue mau ke Sekretariat dulu",

"Kalo gitu, boleh ga gue ikut ke Sekretariat? Gue belum pernah kesana, jadi penasaran hehehe",

"Oh ya boleh aja sih, silahkan".

Rama pun mengikuti Saraswati menuju Sekretariat. Saras tidak menaruh kecurigaan apapun pada Rama yang tiba-tiba penasaran dengan ruangannya itu, karena ia pikir masuk akal saja sebagai mahasiswa pindahan pasti ingin tau banyak hal — apalagi dulunya Rama juga pernah ikut ORMAWA, katanya.

Sesampainya di ruang Sekretariat, sudah ada Agastya, Kirana, Abimanyu, dan Rembulan, serta beberapa staff BEM UI yang sedang melakukan diskusi untuk mempersiapkan konsolidasi aksi. Seperti yang kalian tau, Agastya adalah Kepala Humas BEM, sedangkan Kirana adalah Kepala Divisi Penelitian dan Ilmu Pengetahuan, Abimanyu adalah Kepala Divisi Kajian Aksi dan Propaganda (yang dulunya adalah wakil Bima, dan karena Bima sudah tiada kini Abi yang memangku jabatan tersebut), dan yang terakhir adalah Rembulan yang merupakan Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Abi yang merasa asing dengan Rama pun, bertanya-tanya pada Saras.
"Ras, itu siapa?",
"Permisi semuanya, kenalin nama gue Rama. Mahasiswa pindahan dari Universitas Negeri Jakarta. Salam kenal ya", sahut Rama dengan ramah kepada mereka yang berada di ruang Sekretariat tersebut.

Namun, entah kenapa Aga memiliki perasaan tidak enak ketika melihat Rama. Ia merasa Rama begitu asing dan terlalu cepat beradaptasi jika benar ia baru saja pindah dari Universitas lain. Bagaimana bisa ada seorang mahasiswa pindahan di tengah-tengah kerusuhan yang sedang terjadi belakangan ini. Lagipula, postur tubuh Rama terlalu bagus untuk ukuran mahasiswa yang biasanya tidak memperdulikan bentuk tubuhnya jika sudah semester akhir seperti ini. Apa iya Rama tidak stress dengan tugas kuliah? Atau mungkin Rama tidak pernah mengerjakan tugas sambil makan banyak cemilan sampai subuh?

Aga pun berdiri mendekati Saras dan sedikit menarik Saras ke arah lain.
"Ras, kok lo bolehin orang asing masuk Sekretariat sih?",

"Hah? Orang asing gimana Ga? Kan dia mahasiswa sini juga, apalagi mahasiswa pindahan jadi ya maklum lah kalo dia penasaran. Dulunya dia juga ORMAWA si katanya",

"Lo yakin Ras? Gue ga tau kenapa tapi feeling gue ga enak pas ngeliat dia. Dan gue rasa sebaiknya dalam jangka waktu satu bulan ke depan kita jangan memperbolehkan adanya orang baru di lingkungan kita deh. Gue belum bisa percaya sama orang lain sejak Bima ga ada",

"Lo kenapa sih Ga??? Udahlah santai aja, biarin dia main kesini cuma sebentar",

"Ya baiklah, gue ga ada hak untuk ngelarang juga. Tapi gue minta sama lo Ras, untuk satu bulan ke depan aja, jangan sampe ada orang lain dan orang baru yang masuk ke Sekretariat ini tanpa kita tau seluk-beluknya. Gue takut rencana aksi dan kajian kita malah bocor ke orang yang salah. Lawan kita itu Pemerintah, Ras",

"Iya-iya Ga, gue ngerti kalo gitu. Yaudah, sekarang kita bersikap biasa aja ya dan tetap waspada dengan siapapun".

Mereka pun melanjutkan diskusi dan kajian untuk rencana aksi pada 28 Oktober mendatang. Namun tanpa Rama, ya, Saras berusaha untuk mengajak ngobrol Rama di depan ruang Sekretariat supaya Aga dan yang lain tetap fokus dan tidak terganggu dengan kehadiran orang baru.

JANGAN DIAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang