"Selamat ulang tahun." Rashad mengecup bibir mungil Zara, bahkan membiarkannya lama di sana tanpa ada balasan.
Begitu sentuhan terlepas, gadis itu mengerjap sadar dari keterpakuannya. Menggigit bibir bawah sebagai ekspresi malu tiada terkira. Rona merah di wajahnya merata sempurna.
Rashad tersenyum kecil. Membimbing Zara menuju sofa, menaruh kue di atas meja, lalu menyalakan lilinnya.
"Ada yang kau inginkan?" tanya Rashad.
"Maksud, Tuan?"
"Ini hari ulang tahunmu. Mintalah sesuatu sebagai hadiah."
Memang ada satu keinginan yang ingin Zara minta, inilah kesempatannya selagi ditawarkan. Berharap permintaan ini dikabulkan Tuan Rash.
"Sungguh aku boleh minta sesuatu?" tanyanya ingin memastikan.
"Kenapa tidak? Katakan, apa yang kau inginkan?" Rash gemas dengan ketidakpercayaan Zara terhadapnya.
Gadis itu tersenyum, matanya berkilat binar. Zara merapal bismillah dalam hati, kemudian mengatakan apa yang sebenarnya dia inginkan. "Aku minta Tuan mengizinkan aku berkunjung ke rumah panti asuhan."
Rashad terdiam, menatap lekat wajah ayu nan lugu di depannya. Sungguh begitu muda dan polos istri keduanya ini. Tidak ada kesan gila harta, seperti wanita kebanyakan yang pernah dikenalnya. Terbukti dari permintaannya yang sederhana.
"Hanya itu?"
Zara mengangguk.
"Apa kau tidak menginginkan hadiah perhiasan atau minta bulan madu, atau lainnya, selain pergi ke rumah panti asuhan?" tatar Tuan Rash sengaja menawarkan sesuatu yang lebih berharga dibanding izinnya.
Sekali lagi Zara menggeleng, lalu menunduk seraya berkata lirih, "Semua yang ada di rumah ini sudah lebih dari cukup bagiku. Aku rindu Bunda Hanifah, rindu Ninda, dan rindu anak-anak."
"Bukankah melalui HP kalian masih bisa komunikasi, saling memberi Kabar?"
"Iya, Tuan, tapi tidak cukup melebur rindu ini. Aku ingin memeluk mereka."
Terdengar helaan napas panjang dari mulut Rash. Zara menunggu pria itu mengucapkan satu kata 'izin'.
"Tiuplah lilinnya, berdoa supaya permintaanmu terkabul."
Zara tersenyum membuat Rash semakin gemas.
"Itu hanya mitos, Tuan. Aku membuat kue ini hanya untuk menyenangkan hati saja. Bukan percaya meniup lilin semua harapan akan terkabul. Hanya dengan doa sungguh-sungguh di atas sajadah, menengadahkan tangan, merendahkan diri di hadapan Allah, itulah sebaiknya-baiknya doa."
Rash menyimak penuturan istri kecilnya dengan tatapan tidak berkedip. Menopang dagu dengan jari menempel di bibir, sikut bertumpu di paha.
Hati Rash sedikit tertohok. Setiap kalimat yang meluncur dari bibir Zara mengingatkannya akan sang mamah yang selalu memberi wejangan. Lembut dan bijak dalam bertutur, mampu menyejukan qolbu.
Jauh sekali dibanding istri pertamanya, sedikitpun tidak pernah ada lisan yang membuat Rash kagum. Sejatinya perempuan itu diciptakan berhati lembut, tidak dengan Shanaz, keras, pembangkang, dan binal.
Shanaz terlalu dipesonakan keindahan dunia. Dipuaskan oleh harta sehingga terlupa akan akhlaknya.
Rashad sendiri merasa jadi suami yang gagal bagi Shanaz. Tidak mampu berusaha lebih keras lagi merengkuh hati sang istri untuk menjalani biduk rumah tangga penuh cinta walau tidak bisa memiliki keturunan.
Semua sudah terlambat, masing-masing sudah memiliki peran sendiri-sendiri. Rash tidak yakin rumah tangganya masih bisa diselamatkan atau tidak, yang jelas dia sudah berusaha menjaga pernikahannya tetap utuh.